Pages

22 January 2013

Jodohku Sesederhana Bersin

Jodohku Sesederhana Bersin
Disuatu perjalanan menuju pulang ke Jogjakarta dari sebuah perjalanan jauh, saya merasa sangat bahagia karena satu urusan telah selesai, saya lalu pergi menuju stasiun Gambir dan membeli tiket bisnis. Saya harus menunggu beberapa saat hingga akhirnya keretapun tiba.

Saya terus tersenyum dengan apa yang terjadi di hari yang cerah ini, semua begitu lancar terasa. Padahal pekerjaan yang saya lakukan hanyalah pekerjaan biasa saja tapi entah kenapa hati saya begitu bahagia, terasa berlebihan memang karena hal ini tak seperti biasanya saya rasakan, tapi bagaimanapun saya syukuri dan tak lupa berdo’a agar selalu ingat kepada Sang Pemberi Nikmat.

Ya!! Faridz, si ikhwan berjanggut panjang, duduk di gerbong ke tiga dekat jendela sebelah kiri. Tidak terlalu depan juga tidak terlalu belakang. Bawaannya tidak terlalu banyak, hanya tas pakaian yang ia bawa. Ia letakkan di atas kabin dan ia duduk tenang membaca Alqur’an, ia menyiapkan beberapa buku bacaan lainnya kalau-kalau ia lelah dengan bacaan pertamanya.

Keretapun melaju kencang tanpa hambatan, Alhamdulillah tak ada halangan yang berarti, tapi hari sudah mulai gelap dan dingin. Ia lalu mengambil jaketnya yang ia letakkan diatas kabin tadi. Ia mengenakannya dan kembali membaca.

Cuaca semakin dingin tak tertahankan, Faridz yang tak tahan dengan cuaca dingin memesan kopi untuk menghangatkan tubuh. Lalu ia kembali duduk tenang dan membaca bacaan ringan. Sekarang judul bacaannya adalah sebuah tulisan bertajuk cinta.

Buku ini bercerita tentang bagaimana sepasang suami istri harus mengaplikasikan mawaddah dalam kehidupannya sehari-hari. Dan menurut cerita buku ini, mawaddah itu ada ilmunya. Diantaranya adalah kita harus mengenal beberapa perbedaan antara pria dan wanita, jika tidak akan terjadi banyak kesalahfahaman antara pasangan suami istri, karena:

01. Perbedaan anatomi
02. Perbedaan psikologi
03. Perbedaan kapabiliti, dsb.

Faridz yang baru belajar mengenai percintaan dan berencanan untuk menikah itu tertawa sendiri dengan semua penjelasan yang ada di buku itu.

“Hmmmm… Nampaknya akan lebih nyaman jika dipraktekkan, tidak hanya di baca lalu di terjemahkan.” Faridz bergumam dalam hatinya. Lalu ia mulai membaca buku yang lainnya.

“Hatchu!!” Faridz tak lagi dapat menyembunyikan bersinnya karena dingin. “Alhamdulillah!!”

“Yarhamukallah!!” Terdengar sebuah suara mendo’akan dari depan kursi.

Do’a pertama itu tak mengundang apapun, tapi setelah beberapa kali dan terus mendengar suara itu Faridz tergoda juga untuk mengetahui siapa makhluk unik gerangan yang mendo’akannya dengan segenap hati itu, setidaknya itulah yang ia rasakan. Ia berencana untuk menyapanya setelah tiba di stasiun nanti.

Faridz membenahi semua buku-buku yang ia keluarkan dari tasnya tadi dan siap-siap untuk turun seperti yang lainnya. Tapi ia punya satu utang, melihat siapa gerangan wanita yang telah mendo’akannya itu. Ia lalu berdiri tapi tidak lantas pergi melainkan menunggu wanita itu berdiri dulu. Sejenak penumpang mengantri untuk turun, setelah beberapa saat, ruangan agak kosong dan wanita itupun berdiri, Faridz barulah melihatnya. Ia berkerudung panjang dan tersenyum melihat kearahnya. Faridzpun memberanikan diri untuk bertanya, “Dimana rumah Anti?” Faridz bertanya dengan nada gemetar.

“Oh, dekat kok Akhi, hanya sekitar lima menit dari stasiun kereta ini.” Akhwat itupun tersenyum manis dengan lesung di pipi yang tidak bisa ditutupi jilbabnya. Spontan Faridz munundukkan kepala untuk menjaga pandangannya, merasa malu dan berdosa untuk menikmatinya lebih jauh.

“Insya Allah saya akan mampir suatu waktu.” Faridz melanjutkan perkataanya sambil melangkah pergi setelah mengucapkan salam.

Faridz lalu keluar dengan hati yang sangat gembira, inikah yang menjadikan kegembiraannya membludak tadi? Faridz mengucap istighfar berkali-kali menghindarkan diri dari godaan syetan yang terkutuk yang menyelip lewat kalbu ikhwan lanang yang berencana untuk menikah ini. Ia lalu meluruskan niatnya untuk segera pulang dan bercerita kepada kedua orang tuanya.

Setelah menjelaskan semuanya, kedua orang tuanya manggut-manggut berusaha memahami apa yang anaknya jelaskan. Ia lalu berkata, “Ia berjilbab panjang dan memahami kalimat-kalimat thayyibah, umi, abi, apalagi yang ananda khawatirkan? Lagi pula kita tidak usah kuatir karena jodoh kita adalah cerminan dari diri kita sendiri. Saya Insya Allah selalu berusaha untuk ta’at atas perintahNya, Insya Allah saya juga akan mendapatkan yang demikian itu, umi, abi.”

Lagi-lagi kedua orang tuanya manggut-manggut dengan segala penjelasan anaknya itu. “Baiklah, kapan ananda berencana meminangnya?”

“Secepatnya umi, abi. Saya tidak ingin syetan mengganggu niat saya ini.” Jawab Faridz.

“Besok kita berangkat. Gimana?” Abi mengatakan.

“Jam delapan pagi kita berangkat.” Faridz mengamini.

Malam yang indah Faridz lalui dengan bahagia saat itu, padahal ia juga belum tahu apakah akhwat ini siap dipinang olehnya atau tidak, atau bahkan siap menikah dalam waktu dekat atau tidak. Tapi yang pasti, ia sudah menyerahkan segala sesuatunya kepada Sang Maha Khaliq, Pencipta yang memiliki semua skenario yang terjadi di dalam kereta seperjalanan mereka pulang. Mereka hanya menjalankan alur yang telah digariskan. Allahlah kesemua pengatur skenario itu sehingga mudah segalanya untuk terjadi.

Pagi-pagi sekali Faridz sudah bangun dengan sigapnya. Ia menyiapkan segala sesuatunya dengan baik sehingga tak ada yang tertinggal untuk menghindari kerepotan nantinya. Ia siap-siap mengendarai mobilnya dan melaju cepat menuju tempat yang digambarkan akhwat itu.

Setelah beberapa kali berkeliling stasiun akhirnya ia menemukan juga rumah yang dituju. Mereka mengucapkan salam dan shohibul baitpun membukakan pintu.

“Ahlan wa sahlan. Kira-kira saya boleh tahu apa maksud kedatangan saudara-saudara sekalian?” Tanya seorang Bapak.

“Saya bermaksud untuk berkenalan memperkenalkan anak saya, Faridz, yang ingin Insya Allah meminang putri anda.” Abi membuka maksudnya.

Shohibul bait Nampak tidak terlalu terkejut. Dari caranya membawakan dirinya, ia adalah seorang alim yang sangat penuh memasrahkan dirinya hanya kepada Allah. Beliau hanya berkata, “Putri saya yang mana? Saya memiliki enam putri.” Mimiknya cerah ceria menyambut kedatangan tamu tak diundang ini.

“Yang pake jilbab panjang berlesung pipit.” Jelas Faridz.

“Umi, mungkin bisa diambilkan foto anak-anak kita.” Tanpa bicara Umi, shobibul bait, lalu mengambilkan foto anak-anak mereka dan menyodorkannya kepada tamu.

“Yang mana, nak?” Tanya Abi Faridz.

Faridz terlihat bingung dan diam. Kesemua putri-putri Bapak ini terlihat mirip dan semua berjilbab, walau tak semua berlesung pipit tapi semua Nampak serupa. Faridz lalu melihat ke arah shohibul bait dan bertanya, “Yang beberapa waktu lalu ke Jakarta itu siapa, ya, pak?”

“Oh, itu, dia Ningrum. Kebetulan baru datang dari Jakarta karena ia tengah menyelesaikan studi S1nya di sana. Mi, tolong panggilkan Ningrum.” Abi lalu kembali bertanya untuk menegaskan maksud kedatangan mereka. “Saya bukannya tidak percaya, tapi semua begitu mendadak dan saya tak memiliki persiapan apapun.”

“Tak apa, karena kami bermaksud baik, kami yakin dan percaya Allah pasti akan membantu kami. Oleh karenanya jika Bapak tidak keberatan sudilah kiranya menerima khitbah anak kami.” Abi Faridz melanjutkan.

Ningrum keluar dari dalam rumah dan mengucap salam. Abinya menceritakan maksud kedatangan tamu-tamunya dan ia bertanya kepada anaknya apakah ia siap menerimanya. Ningrum lalu menunduk lebih dalam.

Abi Ningrum tak bertanya lagi tapi meminta istrinya memanggil ustadz dan beberapa orang untuk saksi. Merekapun lalu berbincang lama layaknya sahabat karib yang tengah bertemu setelah sekiain lama terpisahkan.

Setelah habis perbincangan, tak ragu ia menikahkan kedua anak manusia ini dengan keyakinan bahwa Allah maha tahu apa yang terbaik bagi anaknya. Apa yang diikhtiarkan anaknya dalam kehidupan sehari-harinya serta do’a yang selalu menyertai setiap langkah mereka sudah cukup menjadi bekal untuk meyakini amanah yang Allah titipkan. Semua begitu sederhana dengan berbekalkan satu kata, keyakinan.

Barakallah alaikum wa jama’a baina kuma bil khoir…

Note: Terinspirasi dari salah satu kajian Ustadz Salim. A. Fillah mengenai ta’aruf di Masjid Al-Azhar.

1 comment:

  1. wa'alaikumsalam, cerita dan uraian yang bagus... <3
    ^_^

    ReplyDelete

Assalamu'alaikum. Pengunjung yang baik tidak pergi begitu saja ^_^
Silahkan beri komentarmu tentang artikel ini. Jazakumullahu khairan