Langkah-langkah Mendapatkan Jodoh :
1. Memiliki Gambaran tentang Suami/Istri yang Baik
2. Mencari Informasi
3. Meneliti
4. Meminta Pertimbangan
5. Salat Istikharah
6. Memilih
1. Memiliki Gambaran tentang Suami/Istri yang Baik
“Dan
di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan bagi kamu
pasangan dari jenis kamu sendiri agar kamu sakinah bersamanya dan Dia
menjadikan cinta dan kasih sayang di antara kamu. Sesungguhnya yang
demikian itu menjadi tanda-tanda (kekuasaan-Nya) bagi kaum yang
berpikir.” (Ar-Ruum: 21).
Firman Allah di atas menyebutkan bahwa
pernikahan bertujuan membuat seseorang merasa sakinah dan penuh cinta
dan kasih sayang kepada pasangannya. Hal ini memberikan petunjuk kepada
kita agar laki-laki atau perempuan yang mau menikah memiliki gambaran
tentang calon pasangan yang memenuhi syarat dapat menciptakan kehidupan
rumah tangga yang sakinah, penuh cinta dan kasih sayang.
Dengan
adanya tuntutan untuk memenuhi tujuan pernikahan sakinah, penuh cinta
dan kasih sayang, seorang laki-laki yang ingin membentuk rumah tangga
harus memperoleh gambaran yang jelas tentang istri yang baik. Begitu
pula dengan perempuan, ia harus memiliki gambaran yang jelas tentang
laki-laki yang baik untuk dijadikan suami.
Gambaran yang baik
tentang orang yang akan dijadikan istri atau suami haruslah sesuai
dengan tuntunan agama yang telah digariskan oleh Alquran dan sunah. Hal
ini menuntut seseorang mengetahui dan mendalami sifat-sifat perempuan
atau laki-laki yang baik untuk dijadikan suami atau istri. Dengan
mengetahui sifat-sifat ini, seseorang akan memperoleh pegangan
kokoh
dalam menilai calon pasangannya.
Ringkasnya, setiap perempuan atau
lelaki yang hendak menempuh pernikahan harus mempelajari secara
benar ciri-ciri laki-laki atau perempuan yang baik untuk menjadi
pasangannya menurut ketentuan
Islam. Dengan bekal ini, seseorang akan
dapat memilih dan menentukan mana calon yang baik dan mana calon yang
tidak baik bagi dirinya. Dengan memiliki gambaran yang pasti seperti
digariskan oleh Islam, insya Allah kehidupan suami istri akan mencapai
sasaran yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya.
2. Mencari Informasi
“Seorang
laki-laki pernah bertanya kepada Hasan bin Ali, ‘Saya mempunyai seorang
putri. Siapakah yang patut menjadi suaminya menurut Anda?’ Ia
menjawab, ‘Nikahkanlah dia dengan seorang laki-laki yang bertakwa kepada
Allah, sebab jika ia senang, ia akan menghormatinya, dan jika ia tidak
menyenanginya, ia tidak suka berbuat zalim kepadanya.”
(Fiqhus Sunnah
II, bab Nikah).
Hasan bin Ali r.a. menerangkan bahwa orang tua
yang hendak menjodohkan putrinya perlu mengetahui lebih dahulu
seluk-beluk laki-laki pilihannya.
Aisyah r.a. berkata, “Nikah
berarti perbudakan. Oleh karena itu, hendaklah seseorang memperhatikan
kepada siapa ia lepaskan anak perempuannya.”
(Fiqhus Sunnah II, bab
Nikah).
Ucapan Aisyah menggambarkan bahwa setiap perempuan yang
hendak bersuami atau walinya perlu mengetahui hal ihwal lelaki yang akan
menjadi suaminya. Hal ini perlu dilakukan karena perempuan yang telah
terikat dalam pernikahan akan menghadapi berbagai kendala yang membebani
dirinya sebagai istri dan ibu rumah tangga.
Kedua hadits di atas
memberikan pelajaran kepada kita bahwa sebelum mencari jodoh atau
menjodohkan, seseorang harus terlebih dahulu mencari informasi tentang
seluk-beluk orang yang akan menjadi pasangannya atau pasangan orang yang
dijodohkannya. Informasi yang lengkap tentang calon pasangan sangat
diperlukan, baik oleh orang yang hendak melakukan pernikahan maupun oleh
walinya.
Informasi yang tidak lengkap, apalagi informasi yang
salah, akan sangat merugikan mereka yang akan berumah tangga. Hal ini
akan dapat mengakibatkan bencana bagi kehidupan rumah tangga seseorang.
Seorang perempuan yang tidak memperoleh gambaran seutuhnya tentang calon
suaminya akan mengalami penderitaan hidup jika didapatinya sebagai
suami ternyata laki-laki yang tidak baik perangainya.
Seorang
istri yang terlanjur mendapatkan suami yang tidak baik akan menghadapi
berbagai kesulitan. Bila tetap menjadi istrinya, ia tentu akan banyak
berkorban menghadapi berbagai macam sikap dan perilaku suaminya yang
tidak menyenangkan. Bahkan ketika ia menuntut perceraian dari suaminya,
ia akan dipersulit sehingga permintaannya tidak
terkabul.
Oleh
karena itu, Aisyah mengingatkan bahwa seorang perempuan yang memasuki
gerbang pernikahan ibarat seorang yang menjadi budak. Hal ini juga
dimaksudkan sebagai peringatan bagi orang tua agar berhati-hati dalam
memilihkan calon suami bagi putri-putrinya.
Begitu halnya dengan
laki-laki yang sebelum menikahi seorang perempuan memperoleh informasi
yang tidak benar tentang calon istrinya dan setelah menikah ternyata
mendapatkan istri yang tidak baik. Hal ini tentu akan menyebabkan
penderitaan dalam rumah tangga. Mungkin sekali istrinya berlaku serong
atau suka melawan perintah suami atau tidak mau merawat anak-anaknya,
bahkan tidak mau melayani suami dengan menyenangkan.
Hal ini akan
membuat suami hidup dalam ketegangan dan kepanikan. Ia tidak akan
merasakan ketenangan dalam rumah tangganya, bahkan hidup berkeluarga
dirasakan seperti siksaan.
Oleh karena itu, mencari informasi
calon suami atau calon istri merupakan hal yang penting. Seseorang
seharusnya tidak keliru mengambil langkah awal memilih jodohnya karena
hal ini dapat membuat trauma berkepanjangan dalam hidupnya.
Informasi
tentang calon suami atau istri harus teruji kebenarannya. Seseorang
yang mencari tidak boleh tergesa-gesa mempercayai suatu informasi. Ia
sebaiknya menampung lebih dahulu informasi yang datang dari berbagai
pihak sambil menyelidiki dan menguji kebenaranya. Jika ternyata masih
ragu akan kualitas calon suami atau calon istrinya, lebih baik ia
menunda keputusan untuk menerimanya.
Akan tetapi, semua hal ini
adalah dalam rangka usaha atau ikhtiar kita secara teori. Adapun
praktiknya, kita terkadang menghadapi sebuah masalah yang sulit
dipecahkan secara teori. Maka, selain teori, kita juga harus menggunakan
iman dan takwa kita untuk memasrahkan diri kita kepada Allah, agar
Dialah yang akan mengatur dengan sebaik-baik pengaturan.
3. Meneliti
Dari
Mughirah bin Syu’bah, ia pernah meminang seorang perempuan, lalu
Rasulullah saw. bersabda kepadanya, “Sudahkah kamu lihat dia?” Ia
menjawab, “Belum.” Beliau bersabda, “Lihatlah dia lebih dahulu agar
nantinya kamu berdua bisa hidup bersama lebih langgeng (dalam keserasian
berumah tangga).”
(HR Nasai, Ibnu Majah, dan Tirmizi, hadis hasan).
Meneliti
dalam pengertian ini ialah melakukan pengamatan langsung kepada calon
pasangan. Dalam hadis ini Rasulullah saw. menganjurkan agar Mughirah bin
Syu’bah mengamati langsung perempuan yang akan dijadikan istrinya.
Dalam
mencari jodoh, setiap orang perlu melakukan penelitian kepada calon
pasangannya. Tindakan ini betujuan meyakinkan apakah calon pasangan
sesuai dengan harapan atau tidak.
Setelah seseorang mengumpulkan
sejumlah informasi tentang calon pasangannya, ia hendaklah meneliti,
menganalisis, kemudian mencocokkan orang yang diselidiki dengan keadaan
sebenarnya. Bila antara informasi dan keadaan sebenarnya tidak sesuai,
hendaklah ia meminta pertanggungjawaban kepada sumber informasi. Dengan
demikian, pengambilan keputusan yang salah menyangkut seseorang yang
diselidiki tidak akan terjadi.
Tidak jarang dengan melihat atau
meneliti secara langsung, penilaian terhadap calon pasangan berubah.
Calon yang semula terlihat sempurna, setelah diteliti langsung ternyata
memiliki cacat. Kecacatan tersebut menyebabkan perubahan sikap
seseorang. Orang yang semula tertarik dan menganggap calon pasangannya
memenuhi harapannya menjadi tidak tertarik dan kecewa karena cacatnya.
Contoh lain, semula seseorang tertarik secara sepintas kepada akhlak
calon pasangannya. Tetapi, setelah meneliti dengan saksama hatinya
menjadi tidak terpikat lagi karena sikap dan bicaranya kasar.
Adapun
yang perlu diteliti tentu semua aspek yang ingin didapatkan dalam diri
si calon. Jika yang dikehendaki sisi agama, intelektual, tingkat
pendidikan, pergaulan, dan hubungan sosialnya, maka hal itulah yang
diteliti agar kebenarannya bisa dipertanggungjawabkan.
Penelitian
kepada pasangan dibenarkan hanya dengan cara-cara yang sesuai dengan
syariat Islam sebagaimana diriwayatkan dalam hadis berikut:
Rasulullah
saw. (bila hendak menikahi seorang perempuan) biasanya mengutus seorang
perempuan untuk memeriksa aib yang tersembunyi (pada yang bersangkutan).
Kepada perempuan tersebut beliau bersabda, “Ciumlah bau mulut dan bau
ketiaknya serta perhatikanlah urat kakinya.”
(HR. Thabarani dan
Baihaqi).
“Jangan sekali-kali seorang laki-laki menyendiri dengan
perempuan yang tidak halal baginya karena orang ketiganya nanti adalah
setan, kecuali kalau ada mahramnya.”
(HR Ahmad).
Dari hadis
tersebut di atas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa cara yang
dibenarkan bagi calon masing-masing untuk meneliti calon pasangannya
adalah sebagai berikut:
Ia mengirim utusan untuk meneliti keadaan
calon pasangannya. Utusan yang dikirim adalah perempuan jika yang
diteliti calon istri dan laki-laki jika yang diteliti calon suami.
Ia
tidak berduaan. Berduaan seperti
pacaran tidak boleh dilakukan dalam
Islam. Adapun jika yang bersangkutan ingin melakukan penelitian sendiri,
pihak perempuan hendaknya ditemani oleh
mahram lelakinya atau pihak
laki-laki disertai saudara perempuannya atau keluarganya yang perempuan.
Cara pacaran seperti tradisi Barat (yang telah membudaya di negeri kita
sekarang ini) hanya akan menghasilkan sikap-sikap munafik dan manipulasi
sehingga sering menyebabkan penyesalan setelah
memasuki pernikahan. Hal
ini terjadi karena sejak awalnya masing-masing pihak berusaha tampak
sempurna dan menyembunyikan kejelekannya.
Pacaran harus dihindari karena, selain dosa, perbuatan tersebut juga sering menimbulkan dampak negatif bagi perempuan, misalnya:
-
Hamil lebih dahulu sebelum menikah, sehingga keadaan tersebut sering
memaksa pihak perempuan untuk menggugurkan kandungan karena pihak
laki-laki belum siap untuk menikah;
- Timbul rasa putus asa pada perempuan bersangkutan karena laki-laki yang menodai kegadisannya lari dari tanggung jawab;
-
Timbul rasa tidak percaya perempuan kepada setiap laki-laki karena
sering ditinggalkan pacarnya setelah melakukan hubungan gelap. Hal ini
sering menjerumuskan seseorang pada perbuatan free sex dengan siapa
saja, bahkan menjadi pelacur.
Ringkasnya, Rasulullah saw.
menganjurkan agar calon pasangan melakukan penelitian sebelum memasuki
jenjang pernikahan maksudnya adalah untuk meyakinkan yang bersangkutan
bahwa
calon yang akan dipilihnya benar-benar sesuai dengan harapan.
4. Meminta Pertimbangan
Dari
Fathimah, putri Qais, bahwa Abu ‘Amr bin Hafsh telah menceraikannya
untuk kali yang ketiga…. Ia berkata, “Ketika aku sudah selesai menjalani
idah, aku beri tahukan kepada beliau (Rasulullah saw.) bahwa Muawiyah
bin Abu Sufyan dan Abu Jahm melamarku.
Rasulullah saw. bersabda,
“Abu Jahm orangnya tidak pernah meletakkan tongkatnya dari pundaknya,
sedangkan Muawiyah seorang yang miskin, tidak berharta. Oleh karena itu,
nikahlah dengan Usamah bin Zaid!” Akan tetapi, aku tidak senang
kepadanya.
Lalu, beliau bersabda, “Nikahlah dengan Usamah bin
Zaid!” Akhirnya, aku menikah dengannya. Allah Azza wa Jalla memberikan
kebaikan (kepadaku) dengan dirinya sehingga aku dicemburui
(wanita-wanita lain).” (HR An-Nasai).
Dalam kisah di atas
dijelaskan bahwa Fathimah, putrid Qais, meminta kepada Rasulullah untuk
memberi pertimbangan, siapa di antara dua laki-laki yang sebaiknya
diterima lamarannya. Kedua lelaki tersebut datang dan meminta Fathimah
menjadi istri sesudah masa idahnya habis. Fathimah lalu mendatangi
Rasulullah saw. dan menceritakan hal tersebut dengan tujuan agar beliau
memberi pendapat, siapa yang lebih pantas diterima.
Rasulullah
saw. memberi pertimbangan atau nasihat dengan menjelaskan kepada
Fathimah hal-ihwal kedua lelaki tersebut. Abu Jahm adalah orang yang
selalu membawa tongkat di atas pundaknya. Kata kiasan ini menurut ahli
bahasa berarti orang yang keras atau kejam, dan bisa juga orang yang
sering pergi merantau. Adapun Muawiyah bin Abu Sufyan (yang kemudian
menjadi khalifah sesudah Ali) adalah laki-laki miskin.
Setelah
memberi penilaian terhadap kedua laki-laki tersebut, Rasulullah SAW.
menyarankan agar Fathimah menikah dengan Usamah bin Zaid. Semula
Fathimah enggan, tetapi akhirnya ia menerima usul Nabi saw., lalu
menikahlah ia dengan Usamah bin Zaid. Kehidupannya menjadi baik sehingga
banyak wanita yang merasa iri dengannya.
Selain perempuan, meminta pertimbangan juga dianjurkan untuk laki-laki sebelum memutuskan untuk mempersunting seorang
wanita.
Adapun
orang yang dimintai pertimbangan ialah orang yang baik akhlaknya, taat
beragama,
jujur, dapat berlaku adil, berhati-hati, dan dapat memegang
rahasia orang lain, serta mengetahui hal-ikhwal perempuan atau laki-laki
yang bersangkutan. Jadi, kriteria yang kita ambil adalah sisi akhlak
dan kepribadiannya, bukan sisi umur, tingkat pengetahuan, atau status
sosialnya.
Kita harus menyadari bahwa mendapatkan seseorang yang
bersikap jujur terhadap orang lain memang sulit, lebih-lebih setelah
akhlak dan agama mulai ditinggalkan masyarakat dan diganti dengan
prinsip serba materi. Kita juga sulit mendapatkan orang yang adil dalam
mengambil kesimpulan dan penilaian terhadap tingkah laku orang lain.
Oleh karena itu, kita harus berhati-hati bila meminta pertimbangan
mengenai pasangan hidup.
Bertanya kepada orang yang berakhlak baik yang
berpedoman pada prinsip-prinsip Islam merupakan langkah terbaik.
Meminta
pertimbangan kepada psikolog atau psikiater dan sebagainya yang banyak
dilakukan orang sekarang hanya merupakan tindakan mubazir. Dikatakan
demikian karena mereka tidak tahu-menahu perihal orang yang
bersangkutan. Selain itu, mereka tidak menjadikan agama sebagai dasar
berpijak dalam menilai perilaku manusia. Dasar yang mereka pakai adalah
teori empiris yang masih diragukan kebenarannya.
Bila kita
menerima pertimbangan orang lain, hendaklah kita berhati-hati dan
membandingkannya dengan pertimbangan orang-orang lain yang kita
percayai. Jika sebagian besar dari pemberi pertimbangan menilai negative
orang yang kita teliti, hendaklah kita menyelidiki keadaan yang
sebenarnya. Jika ternyata sebagian besar dari mereka memberikan
pertimbangan yang berlawanan dengan kenyataan, hendaklah kita meminta
keterangan lebih jauh kepada mereka.
Mungkin sekali mereka memiliki
bukti-bukti yang cukup mengenai keadaan masa lalu atau sifat-sifat buruk
yang bersangkutan yang kita sendiri tidak mengetahuinya. Bila orang
yang memberi pertimbangan memiliki akhlak dan ketaatan beragama yang
tinggi, hendaklah kita utamakan pertimbangannya, dan kita kesampingkan
dorongan kecintaan kita kepada yang bersangkutan demi menjaga
keselamatan diri pada masa yang akan datang.
Ringkasnya, seorang
perempuan yang dilamar oleh laki-laki atau laki-laki yang akan
mempersunting seorang perempuan sebaiknya meminta pertimbangan lebih
dahulu kepada orang yang dipercayainya mengenai keputusannya. Hal ini
bertujuan agar perempuan/laki-laki tersebut mendapatkan suami/istri yang
baik sehingga kehidupan rumah tangganya memperoleh kebahagiaan dunia
dan akhirat.
5. Salat Istikharah
Dari Jabir
bin Abdullah, ia berkata, Rasulullah saw. biasa mengajari kami
melakukan istikharah dalam setiap urusan, seperti beliau mengajari kami
suatu surat dari Alquran.
Beliau bersabda, “Bila seseorang bertekad
melakukan suatu urusan, hendaklah ia melakukan dua rakaat bukan wajib,
lalu berdoa,
‘Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada Engkau pilihan
kebaikan untukku dengan pengetahuan-Mu; aku memohon pertolongan-Mu
dengan kekuasaan-Mu; dan aku memohon kepada-Mu (mendapatkan) karunia-Mu,
Tuhan Maha Agung, karna Engkaulah yang berkuasa, sedangkan aku tidak.
Engkau Maha tahu, sedangkan aku tidak dan Engkau Maha mengetahui yang
gaib. Ya Allah, kalau Engkau mengetahui urusan ini baik bagiku, agamaku,
kehidupanku, dan kesudahan urusanku,’ atau sabdanya, ‘pada awal-awal
urusanku dan akhir-akhirnya, tentukanlah dia untukku dan mudahkanlah dia
untukku, kemudian berkahilah untukku dalam urusan ini. Bila Engkau tahu
urusan ini tidak baik bagiku dalam urusan agamaku, kehidupanku, dan
kesudahan urusanku ini,’ atau sabdanya, ‘pada awal-awal urusanku dan
akhir-akhirnya, jauhkan ia dariku dan jauhkanlah aku dari urusan ini dan
tetapkanlah kebaikan bagiku di mana pun adanya, kemudian ridailah aku
dengan urusan itu.’ Ia berkata, ‘Dengan menyebutkan apa keperluannya’.”
(HR An-Nasai).
Istikharah berarti memohon dipilihkan yang baik
atau mencari yang terbaik. Salat istikharah adalah salat dua raakaat
untuk meminta kepada Allah agar diberi petunjuk untuk memilih yang
terbaik di antara berbagai pilihan yang sedang dihadapi.
Seseorang
sering menghadapi berbagai pilihan dalam memilih pasangan hidupnya.
Kadang-kadang ia mempunyai dua atau tida pilihan hingga bingung memilih
yang terbaik bagi diri, agama, dan kehidupan dunia, serta bagi kehidupan
akhiratnya. Bila terjadi hal ini, ia sebaiknya melaksanakan salat
istikharah untuk memohon kepada Allah agar diberi kemantapan menolak
atau menerima.
Sebelum salat istikharah, sebaiknya hati dan
pikirannya dipasrahkan sepenuhnya kepada Allah. Kita tidak boleh
memaksakan diri harus mendapatkan orang yang diinginkan, karena bila
kita sudah bertekad demikian, kita tidak akan mendapat ketenangan dan
kejernihan dalam berpikir dan merenungkan masalahnya. Bila kita sudah
dipenuhi emosi dan ketidaksabaran, tentu kita tidak akan bisa berpikir
secara jernih dan lapang dada. Akhirnya, istikharah kita tidak
bermanfaat.
Salat istikharah tidak terikat waktu dan tempat. Salat
istikharah boleh dilakukan setiap hari sampai hati kita diberi petunjuk
oleh Allah. Petunjuk yang kita peroleh adalah timbulnya rasa mantap
untuk menerima atau menolak orang yang kita istikharah untuknya. Jika
yang muncul adalah perasaan kuat untuk menolak, sebaiknya kita batalkan
niat kita untuk mengambil orang tersebut sebagai pasangan kita. Bila
yang muncul adalah perasaan kuat untuk mengambil orang tersebut sebagai
pasangan kita, kita teruskan niat kita untuk menjadikannya sebagai
pasangan kita.
Bila yang muncul adalah perasaan kuat untuk menolak tetapi
kita tidak mempedulikannya, berarti kita telah mengabaikan petunjuk
dari Allah. Risiko dan tanggung jawabnya hendaklah kita terima. Oleh
karena itu, kita harus berperasaan peka dalam menangkap petunjuk batin
yang Allah berikan agar kita tidak mengalami malapetaka dan terjatuh
dalam penderitaan hidup kemudian hari.
Ringkasnya, sebelum
mengambil keputusan memilih atau menerima calon istri atau calon suami,
kita hendaklah melakukan salat istikharah. Insya Allah dengan langkah
ini akan diperoleh kemudahan dalam menentukan pilihan dan diperoleh
jodoh yang dapat mengantarkan hidup kita yang diliputi kebahagiaan di
dunia dan di akhirat.
6. Memilih
Dari Yahya
bin Sa’id bahwa Qasim bin Muhammad telah menceritakan kepadanya tentang
seorang laki-laki bernama Khidzam, yang menikahkan salah seorang anak
perempuannya, tetapi anak perempuan tersebut enggan dinikahkan oleh
ayahnya. Lalu, ia datang kepada Rasulullah saw dan menceritakan kejadian
tersebut. Rasulullah saw. mengembalikan kepadanya pernikahan yang telah
dilakukan oleh ayahnya dan anak perempuan itu memilih menikah dengan
Abu Lubabah bin Abdil Mundzir. Menurut Yahya, kejadian ini terjadi pada
perempuan janda.
(HR Ibnu Majah).
Memilih di sini maksudnya
menentukan atau mengambil seseorang yang dikuasai untuk dijadikan suami
atau istri. Hadis di atas menerangkan bahwa apabila seorang laki-laki
datang kepada keluarga perempuan untuk meminang anaknya, hendaklah
perempuan itu diberi hak untuk menjatuhkan pilihannya. Ia tidak boleh
dipaksa untuk menerima laki-laki tertentu yang dikehendaki orang tua
atau wali.
Rasulullah saw. memberi hak kepada pihak perempuan
(gadis atau janda) untuk memilih orang yang paling berkenan di hatinya
sebagai suami. Walaupun orang tua atau wali memiliki hak untuk
mengajukan seorang laki-laki sebagai suami anak atau perempuan yang
berada di bawah perwaliannya, keputusan akhir tetaplah berada di tangan
perempuan yang bersangkutan.
Langkah memilih ini dapat dilakukan
oleh perempuan yang ditawari beberapa lelaki sebagai calon suami.
Walaupun begitu, hak memilih tidak dibatasi meskipun calon yang datang
hanya seorang. Jika yang datang hanya seorang, perempuan yang dilamar
tetap memiliki hak untuk menolak atau menerima. Dasar pemilihan yang
digunakan adalah ketentuan agama Islam mengenai sifat-sifat calon suami
atau istri yang baik yang telah digariskan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Laki-laki
dan perempuan memiliki kebebasan yang sama dalam memilih jodoh. Pada
masa Rasulullah saw. banyak perempuan yang berani datang kepada
laki-laki untuk meminang. Tindakan ini dibenarkan Rasulullah saw. Oleh
karena itu, kita tidak boleh beranggapan bahwa memilih jodoh hanya
menjadi hak laki-laki sehingga perempuan hanya dianggap sebagai objek
pilihan.
Memilih pasangan merupakan hal yang penting bagi muslim
atau muslimah sebelum memasuki gerbang rumah tangga. Muslim atau
muslimah harus berhati-hati dalam memilih istri atau suami agar tidak
menyesal pada kemudian hari. Kekeliruan memilih akan sangat merugikan
dirinya.
Sumber : 15 Cara & Langkah Mendapatkan Jodoh, Drs. M. Thalib,
Al-Islam, Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia.