29 March 2013

Awali Kerja Dengan Shalat Dhuha

Awali Kerja Dengan Shalat Dhuha
Tubuh manusia memiliki ratusan tulang yang masing-masing dihubungkan dengan persendian. Jumlah persendian dalam tubuh manusia adalah 360, sebagaimana disebutkan oleh Rasulullah SAW dan dibenarkan oleh para dokter. Kita tidak bisa membayangkan, bagaimana jika tulang-tulang yang ada dalam tubuh kita tersebut tidak dihubungkan dengan persendian. Atau salah satu persendian tersebut tidak bisa menjalankan fungsinya dengan baik. Maka, tidak ada yang mengetahui betapa besarnya nikmat ini kecuali orang yang telah kehilangan nikmat tersebut.

Shadaqah tanpa harta

Setiap hari, persendian kita mempunyai kewajiban untuk bershadaqah sebagai realisasi syukur kita kepada Allah, Dzat yang telah menciptakannya. Caranyapun beragam sebagaimana yang disebutkan oleh Rasulullah SAW, 
"Setiap persendian manusia diwajibkan untuk bershadaqah setiap harinya sejak matahari terbit. Memisahkan (menyelesaikan perkara) antara dua orang yang berselisih adalah shadaqah. Menolong seseorang naik ke atas kendaraannya atau mengangkat barang-barangnya ke atas kendaraannya adalah shadaqah. Berkata yang baik juga termasuk shadaqah. Begitu pula setiap langkah berjalan untuk menunaikan shalat adalah shadaqah. Serta menyingkirkan suatu rintangan dari jalan adalah shadaqah." (HR. Bukhari dan Muslim)

Begitu berat dan lelahnya kita jika harus melakukan berbagai amal tersebut setiap harinya. Sehingga para sahabatpun bertanya, "Siapa yang sanggup melakukan, wahai Rasulullah?" Maka beliau menjawab, "Jika ia tidak mampu, maka dua rakaat Dhuha sudah mencukupinya." (HR Ahmad Abu Dawud)

Rasulullah SAW memberikan kemudahan kepada umatnya, bahwa semua shadaqah yang dilakukan oleh anggota badan tersebut dapat diganti dengan dua rakaat shalat Dhuha, karena shalat merupakan amalan semua anggota badan. Jika seseorang mengerjakan shalat, maka setiap anggota badan menjalankan fungsinya masing-masing. Demikian penjelasan yang disebutkan oleh Ibnu Daqiqil 'Ied.

Jumlah raka'at Dhuha minimal adalah 2 raka'at sedangkan maksimalnya adalah 8 raka'at. Dengan menjalankan 2 raka'at Dhuha, kita telah melaksanakan salah satu wasiat Rasulullah SAW. Abu Hurairah berkata, "Kekasihku, Rasulullah SAW berwasiat kepadaku dengan tiga perkara: puasa selama tiga hari setiap bulannya, dua raka'at shalat Dhuha, dan mengerjakan shalat witir sebelum aku tidur." (Muttafaq 'Alaihi)

Keutamaan shalat dhuha
 
Meskipun bernilai sunnah, shalat ini mengandung banyak fadhilah (keutamaan), namun tidak banyak dari kita yang memperhatikannya. Diantaranya sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Darda' ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Allah ta'ala berfirman, "Wahai anak Adam, shalatlah untuk-Ku empat rakaat pada permulaan hari, maka Aku akan mencukupi kebutuhanmu pada sore harinya." (HR. Tarmidzi)

At Thayyibi menerangkan bahwa dengan mengerjakan empat rak'at di pagi hari, Allah akan mencukupi kebutuhan-kebutuhan kita dan menjauhkan kita dari semua yang tidak kita inginkan hingga sore hari. Fadhilah lainnya, orang yang mengerjakannya dimasukkan dalam golongan orang-orang yang kembali kepada Allah. Karena shalat Dhuha adalah shalat awwabin, shalatnya orang-orang yang kembali kepada Allah (bertaubat). Dalam hadits lain Rasulullah SAW menyebutkan bahwa pahala orang yang mengerjakan shalat Dhuha seperti orang yang mengerjakan umrah.

Menjadi kaya dengan shalat dhuha?

Ada diantara kaum muslimin yang begitu bersemangat mengerjakan shalat dhuha. Namun ironisnya ketika mereka melaksanakan shalat wajib, justru malas-malasan dan hanya sekedar untuk menggugurkan kewajiban saja. Shalat subuh dikerjakan jam enam pagi dan salat asar hanya kalau sempat saja. Penyebabnya, ada tujuan lain ketika mereka mengerjakannya yaitu ingin mendapatkan balasan di dunia, biar lancar rezekinya dan menjadi orang yang kaya raya. Sehingga doa-doa yang dipanjatkannyapun hanya dengan kelancaran rizki. Demikian fenomena yang sering kita dapatkan di masyarakat. Dunia, mungkin saja mereka peroleh. Boleh jadi akan semakin lancar rizkinya dan karirnya terus meningkat. Namun apa yang mereka peroleh di akhirat? Qatadah ketika menafsirkan surat Hud: 15-16, ia berkata, "Barang siapa yang dunia adalah tujuannya, dunia yang selalu dia cari-cari dengan amalan shalehnya, maka Allah akan memberikan kebaikan kepadanya di dunia. Namun ketika di akhirat, dia tidak akan memperoleh kebaikan apa-apa sebagai alasan untuknya. Adapun seorang mukmin yang ikhlas dalam beribadah (yang hanya mengharapkan wajah Allah), selain akan mendapatkan balasan di dunia dia juga akan mendapatkan balasannya di akhirat."

Luangkan waktu

Waktu pelaksanaan shalat Dhuha adalah ketika matahari mulai naik sepenggalan, kira-kira seperempat jam setelah matahari terbit hingga waktu zawal (matahari tergelincir). Dan waktu yang paling afdhal adalah ketika matahari mulai panas.

Memang, tidak mudah untuk melaksanakan shalat Dhuha. Karena waktunya bertepatan dengan jam-jam dimulainya aktivitas keseharian, orang sibuk bekerja mencari rezki pada waktu tersebut. Namun, sesempit apapun waktu kita karena aktivitas sehari-hari, jika kita luangkan waktu sejenak untuk mengerjakan shalat Dhuha, Insya Allah tidak akan mengurangi jatah rizki yang telah ditentukan untuk kita. Kalau toh meluangkan waktu pada waktu tersebut tidak memungkinkan pula, karena peraturan perusahaan yang begitu ketat dan mengikat, shalat Dhuha bisa kita kerjakan sebelum masuk jam kerja. Nah, mari awali kerja kita dengan melaksanakan shalat Dhuha.

http://www.bajubusanamuslim.com
Disadur dari : Majalah Islam Ar- Risalah Hal. 54 Edisi 96 / Vol. VIII / No.12 Jumadal Akhir - Rajab 1430 H / Juni 2009
readmore »»  



19 March 2013

Kenikmatan Subuh

Kenikmatan Subuh
Suatu kenikmatan yang amat besar saat kita tidur kemudian kita terbangun kembali. Tidak semua orang dapat merasakan kenikmatan ini. Saat subuhpun merupakan suatu pelajaran yang binatang ajarkan kepada manusia.

Waktu subuh sautan ayam telah mengarjarkan kita untuk bangun dan mengucap rasa syukur terhadap Allah. Pada saat tersebut, seseorang tertidur tanpa berhubungan dengan dunia nyata. Tubuh dan jiwanya terpisah. Saat ini, yang dia pikirkan sebagai tidur, sebenarnya adalah sejenis kematian.

Allah menerangkan dalam Al Qur’an bahwa jiwa manusia diambil pada saat mereka tertidur.

Dan Dialah yang menidurkan kamu di malam hari dan Dia mengetahui apa yang kamu kerjakan di siang hari, kemudian Dia membangunkan kamu pada siang hari untuk disempurnakan umur(mu) yang telah ditentukan, kemudian kepada Allah-lah kamu kembali, lalu Dia memberitahukan kepadamu apa yang dahulu kamu kerjakan (QS Al An’am, 6:60)

Sesungguhnya saat kita tertidur Allah mematikan kita sesaat. Oleh karenanya Rasulullah mengajarkan do’a “Alhamdulillahi al-ladzi ahyaana ba’da ma amatana wa ilaihi an-nushur” artinya “Segala puji bagi Allah yang menghidupkan kami setelah dimatikan-Nya,dan kepada-Nya kami akan kembali”. 

Suasana segar dipagi hari memberikan inspirasi tertanda kekuasaan Illahi. Segarnya udara pagi belum terkontaminasi polusi memberikan khasiat yang luar biasa bagi pernafasan kita. Kualitas oksigen yang baik ini akan memaksimalkan kerja otak, mencegah kerusakan paru-paru, memperlancar peredaran darah, dan meningkatkan kekebalan tubuh. Di saat orang membuka matanya di pagi dini hari, dia menujukan pikirannya kepada Allah dan memulai hari dengan sebuah sholat yang khusyuk, Sholat subuh.

Bagi mereka yang beriman dan hidup berdasarkan ajaran Al Qur’an, setiap hari baru penuh akan bukti keberadaan Allah dan kenyataan yang menuntun kepada iman. Sebagai contoh, membuka mata dan memulai hari merupakan salah satu nikmat Allah kepada manusia dan kenyataan yang menuntun kepada iman yang perlu direnungkan.
Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditetapkan (QS Az Zumar, 39:42)

Dalam ayat-ayat tersebut, Allah berfirman bahwa jiwa manusia diambil pada saat tidur, namun dikembalikan lagi sampai waktu yang telah ditentukan untuk kematian datang. Selama tidur, seseorang setengah kehilangan kesadaran terhadap dunia luar. Untuk bangkit dari “kematian” tidur kepada kesadaran dan kondisi yang sama seperti pada hari sebelumnya, dan untuk dapat melihat, mendengar, dan merasakan dengan baik dan sempurna adalah sebuah keajaiban yang harus kita renungkan.

Seseorang yang berangkat tidur di malam hari tidak dapat memastikan bahwa nikmat yang tiada bandingannya ini akan diberikan lagi kepadanya besok pagi. Dan kita tidak pernah dapat memastikan apakah kita akan mengalami bencana atau bangun dalam kondisi sehat.[1]

Sementara pengertian dari barokah itu sendiri ialah “ziyadah Al-Khoir” artinya bertambah kebaikan. Sungguh beruntung bagi orang yang dalam hidupnya panjang umur dan banyak amal kebaikan atau amal sholehnya.

Semoga kita bisa memanfaatkan usia, sehingga dapat beramal sholeh dengan ikhlas. Aamiin.

Wallahua’lam bishshowab. . .

--------------------------
 [1] Harun Yahya (24 jam seorang muslim)
readmore »»  



13 March 2013

Nama yang Tidak Baik Menurut Islam

Nama yang Tidak Baik Menurut Islam
Nama-Nama Yang Dilarang Islam
Nama adalah doa kepada seseorang, maka ibu bapa menjadi pemegang amanah yang besar untuk menamakan cahaya mata mereka. Nama hendaknya memiliki makna yang bagus. Janganlah memberikan nama hanya mengikut perasaan, asalkan indah dan sedap didengar tanpa mengetahui makna yang tersirat atau maksud sebenarnya.

Jika nama tersebut buruk dan memalukan, maka ibubapa boleh dikira berlaku zalim dan derhaka pada si anak.

A.    Nama-Nama Larangan

1.     Pengabdian / Penghambaan
Syarak menegah menamakan seseorang atau anak dengan nama yang dilarang seperti yang khusus bagi Allah atau sembahan-sembahan lain. Jauhilah dari nama-nama yang menunjukkan pengabdian/penghambaan kepada selain Allah seperti Abdul-Kaabah (Hamba Kaabah), Abdun-Nabi (Hamba Nabi), Abdul-‘Uzza (Hamba Tuhan ‘Uzza) dan sebagainya.
.
.
2.     Malikul-Amlak
Diharamkan memberi nama dengan nama ‘Malikul-Amlak’ yang bermaksud; ‘Raja bagi segala raja’. Sabda Rasulullah SAW:
إنَّ أخْنَعَ اسْمٍ عِنْدَ اللَّهِ تَعالى رَجُلٌ تَسَمَّى مَلِكَ الأمْلاكِ
“Sesungguhnya sehina-hina/seburuk-buruk nama di sisi Allah ialah seorang lelaki yang bernama Malikul-Amlak.” (Riwayat Imam Bukhari dari Abu Hurairah r.a.)
.
Dalam riwayat yang lain, Rasulullah SAW bersabda;
أَغْيَظُ رَجُلٍ عَلَى اللهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَأَخْبَثُهُ، رَجُلٌ كَانَ يُسَمَّى مَلِكَ الأَمْلاَكِ، لاَ مَلِكَ إِلاَّ اللَّهُ
“Lelaki yang paling dimukai oleh Allah pada hari kiamat dan paling hina ialah lelaki yang diberi nama Malikul-Amlak (kerana hakikatnya) tiada raja melainkan Allah.”  (Riwayat Imam Muslim dari Abu Hurairah r.a.)
.
.
3.     Nama Malaikat
Menurut mazhab Syafi’ie, harus memberi nama dengan nama-nama Malaikat. Namun demikian, sebahagian ulama’ memakruhkannya. Berkata Qadhi ‘Iyadh; “Telah memakruhkan sebahagian ulama’ memberi nama dengan nama-nama Malaikat dan ia adalah pandangan al-Harith bin Miskin. Imam Malik memakruhkan memberi nama dengan Jibril dan Ya-sin.”
 .
.
4.     Tengok Nasib Dan Penafian
Begitu juga, dimakruhkan memberi nama dengan nama-nama yang dijadikan tengok nasib dengan penafiannya pada adat/kebiasaan seperti nama-nama yang terkandung dalam sabda Rasulullah SAW;
لاَ تُسَمِّيَنَّ غُلاَمَكَ يَسَاراً، وَلاَ رَبَاحاً، وَلاَ نَجِيحاً، وَلاَ أَفْلَحَ، فَإِنَّكَ تَقُولُ: أَثَمَّ هُوَ؟ فَلاَ يَكُونُ، فَيَقُولُ: لاَ”. إِنَّمَا هُنَّ أَرْبَعٌ، فَلاَ تَزِيدُنَّ عَلَيَّ.
“Janganlah kamu menamakan anak kamu Yasar (mudah), Rabah (untung), Najih (berjaya) dan Aflah (berjaya). Kerana sesungguhnya jika kamu bertanya seseorang; “Apakah ada di sana (Yasar, Rabah dan sebagainya itu)?” Lalu ia menjawab; “Tidak ada”.” (Riwayat Imam Muslim dari Samurah bin Jundab r.a.)
.
Dalam hadis yang lain, Rasulullah SAW bersabda::
لا تسمين غلامك يسارا ولا رباحا ولا نجيحا ولا أفلح فإنك تقول أثم هو فلا يكون فيقول: لا
“Jangan namakan anakmu dengan nama senang, keuntungan dan kejayaan. Sebabnya adalah jika kamu bertanya adakah ‘kuntungan’ ada? Jika tidak ada, orang akan menjawab “Keuntungan tidak ada”.”  (Hadis riwayat Muslim, Tirmizi r.a. dan Abu Daud r.a.)
.
Menurut Imam Nawawi, dimakruhkan nama-nama tersebut (dalam hadis) adalah kerana buruk dan rosaknya jawapan yang bakal diterima, juga nama-nama tersebut ada kemungkinan menjatuhkan sebahagian golongan ke dalam suatu bentuk perbuatan menenung untung/nasib. (Contohnya; apabila ditanya; “Adakah di sana ada Rabah (untung)?”, lalu dijawab; “Ada”. Apabila orang yang suka menengok/menilai nasib dengan suatu sempena atau kejadian mendengar jawapan ini, maka ia akan membuat andaian bahawa hari tersebut adalah hari untung).
.
Menurut Syeikh Abdullah Nasih ‘Ulwan; memberi nama dengan nama-nama ini hukumnya adalah haram dengan sepakat para ulama’. (Tarbiyatul-Aulad)
.
.
5.     Kekufuran Dan Kejahatan
Nama-nama yang memberikan maksud yang tidak baik dan melambangkan kekufuran dan yang terkenal dengan kejahatan, seperti Wisky, Ifrit, Firaun dan Syaitan adalah dilarang.
.
.
6.     Tidak Melambangkan Islam
Hendaklah dijauhi juga dari memberi nama dengan nama-nama yang tidak beridentitikan Islam dan menggambarkan hilangnya jati-diri sebagai seorang muslim, seperti meniru-niru nama orang bukan Islam seperti Natasya, Susan, Suzuki, Mazda dan Ninja. Juga nama-nama yang menzahirkan cinta-berahi seperti nama ‘Huyam’ (gila berahi), dan sebagainya.
.
.
7.     Memuji Diri Sendiri
Banyak nama yang menunjukkan memuji diri sendiri dalam masyarakat Melayu kini. Tidak kiralah namanya dengan nama Khairun Nisa (sebaik-baik wanita), nama ‘mujahid’ pejuang, syahid, nama ‘salafus soleh dan sebagainya. Setiap ibubapa hendaklah berhati-hati menamakan bayi mereka kerana ini dilarang dan termasuk dalam memuji diri anak itu sendiri.
.
Rasulullah SAW melarang menggunakan nama yang memuji diri sendiri. Pernah terjadi pada suatu ketika, apabila Nabi SAW bertemu seorang wanita bernama Barrah (wanita yang sangat baik); Rasulullah SAW bersabda:
لاَ تُزَكُّوْا أَنْفُسَكُمْ اَللهُ أَعْلَمُ بِأَهْلِ الْبِرِّ مِنْكُمْ
“Janganlah kamu memuji diri kamu sendiri. Allah SWT lebih mengetahui siapakah yang lebih baik dikalangan kamu.”
Mereka bertanya: “Apa yang kami hendak namakannya.”
Baginda menjawab: “Zainab.”
(Hadis sahih riwayat Muslim r.a.)
.
Daripada Umar RA berkata, Rasulullah SAW bersabda;
عن عمر رضي الله عنه قال, قال رسول الله صلي الله عليه وسلم:لأنهين ان يسمى رافع وبركة ويسار.
“Aku menegah daripada menamakan dengan nama Rafi’ (ketinggian)’, Barakah (keberkatan) dan Yassar (senang).” (Hadis riwayat Tirmizi r.a.).
.
Imam Nawawi berkata: Ulama syafie berkata: “Dimakruhkan memberi nama dengan nama-nama ini dan apa yang membawa kepada sebab larangan ini. Larangan ini adalah hanya makruh tidak haram.”
.
.
8.     Gabungan Nama
Memang ramai yang suka menggabungkan nama suami dan isteri tetapi adakah ia menghasilkan makna yang baik? Ketahuilah nama juga merupakan gambaran bagi sifat, gaya hidup dan pemikiran kedua ibu bapa seseorang.
.
Nama seperti Rozana, Suzana atau yang menggunakan nama zana, bunyinya sedap sekali tapi maknanya ‘berzina’ atau pun nama wati yang bererti ‘bersetubuh’. Jadi elakkanlah menggunakan nama-nama tersebut.
 .
.
9.     Nama Buruk
Dimakruhkan memberi nama dengan nama-nama yang buruk seperti Harb, Murrah, Kalb, ‘Ashiyah, Syaitan, Dzalim, Himar dan sebagainya.Sabda Rasulullah SAW;
تَسَمَّوا بأسْماءِ الأنْبِياءِ، وَأحَبُّ الأسْماءِ إلى اللّه تَعالى عَبْدُ اللّه وَعَبْدُ الرَّحْمَن، وأصْدَقُها: حَارِثٌ وَهمَّامٌ، وأقْبَحُها: حَرْبٌ وَمُرَّةُ
“Berilah nama dengan nama-nama para Nabi. Nama yang paling disukai oleh Allah ialah ‘Abdullah’ dan ‘Abdurrahman’. Nama yang paling tepat (dengan hakikat manusia) ialah ‘Harith’ dan ‘Hammam’, dan nama yang paling buruk ialah ‘Harb’ dan ‘Murrah’.” (Riwayat Abu Daud, an-Nasai dan lain-lain dari Abi Wahb al-Jusyami r.a.)
 .
.
B.    Perawatan Islam
Di dalam perawatan Islam juga terdapat beberapa nama yang sebaiknya dielakkan untuk diberikan kepada putera-puteri anda kerana maknanya yang tidak elok, buruk dan boleh mendatangkan masalah di kemudian hari. Hindarilah agar tidak bertembung dengan nama-nama jin. Contohnya;
1. Balqis – ketua jin
2. Qistina/Kistina – penghulu jin
3. Najwa – bisikan
4. Zaqwan/Zaquan – anak jin
5. Haikal/Haiqal – tengkorak
6. Badrisha/Badlisha/Herisha
 .
Anak-anak ini bermungkinan akan menimbulkan banyak masalah, seperti sering sakit, berpenyakit ‘berat’ dan kronik, degil, kerap menangis, memberontak, hiperaktif dan sebagainya.
.
Ceramah Nama-Nama Bermasalah Oleh Ustaz Sharhan   (Klik Di Sini)
.
.
C.    Nama-Nama Yang Dilarang Dalam Islam

Berikut adalah sebahagian daripada nama-nama lain dalam Islam yang harus dielakkan dan dihindari bagi menamakan bayi anda:
 .
A
Abiqah          Hamba yang lari dari tuannya
Abkam          Tidak celik, buta
Afinah          Yang bodoh
Amah            Hamba suruhan perempuan
Asiah            Wanita yang derhaka
Asyar            Paling jahat
Asyirah         Yang tidak bersyukur atas nikmat
Aznie            Aku berzina
B
Baghiah          Yang zalim, jahat
Bahimah         Binatang
Bakiah            Yang menangis, merengek
Balidah           Yang bodoh, bebal
Baqarah           Lembu Betina
Batilah            Yang batil, tidak benar
D
Dabbah            Binatang
Dahisyah         Goncang, stress
Dahriyah         Yang mempercayai alam wujud dengan sendirinya
Dami’ah          Yang mengalir air matanya
Daniyah           Yang lemah dan hina
Darakah           Kedudukan yang rendah
F
Faji’ah             Kecelakaan
Fajirah             Yang jahat, yang berdosa
Fasidah            Yang rosak, yang binasa
Fasiqah            Yang jahat, si fasik
Fasyilah           Gagal, kalah
G
Ghafilah          Yang lalai, yang leka
Ghaibah           Hilang
Ghailah            Kecelakaan, bencana
Ghamitah         Yang tidak mensyukuri nikmat
Ghasibah          Perampas, perompak
Ghawiah          Yang sesat, yang mengikut hawa nafsu
H
Haqidah           Yang dengki
Hasidah            Yang hasad
Hazinah            Yang sedih
Huzn                 Kesedihan
J
Jafiah               Yang tidak suka berkawan
Jariah               Hamba suruhan perempuan
K
Kafirah            Yang kafir, yang ingkar
Kaibah             Yang sedih
Kamidah          Yang hiba, yang sangat berduka
Kazibah            Pendusta, pembohong
Khabithah        Yang jahat, yang keji
Khali’ah           Yang tidak segan silu, mengikut hawa nafsu
Khamrah          Arak
Khasirah           Yang rugi
Khati’ah           Yang bersalah, yang berdosa
L
Laghiah             Sia-sia, tidak berfaedah
Lahab                Bara api
Lahifah             Yang sedih, menyesal dan dizalimi
La’imah            Yang tercela
Lainah               Yang terkutuk
M
Majinah             Yang bergurau senda tanpa perasaan malu
Majusiah            Agama menyembah api atau matahari
Maridah             Yang menderhaka
Munafikah         Yang munafik
Musibah             Celaka, bencana, kemalangan
N
Najisah               Yang najis dan kotor
Nariah                Api
Nasyizah            Yang menderhaka dan melawan suami
Q
Qabihah              Yang buruk, hodoh
Qasitah               Yang melampaui batasan dan menyeleweng dari kebenaran
Qatilah                Pembunuh
Qazurah              Kejahatan, perzinaan
R
Rajimah              Yang direjam, yang dilaknat
Razani                 Kepala zakar lelaki
Razi’ah                Kecelakaan, musibah
Razilah                Yang keji dan hina
S
Safih Insan           Manusia bodoh
Safilah                  Yang rendah dan hina
Sahiah                  Yang pelupa
Sharrul / Sharru    Jahat
Sakirah                 Pemabuk
Sakitah                 Yang jatuh, yang hina, yang jahat
Syafihah               Yang bodoh
Syani’ah               Yang buruk
Syaqiyah              Yang menderita
Syaridah               Yang diusir
Syariqah               Pencuri
Syarisah                Yang buruk akhlak
Syarrul Bariyyah  Sejahat-jahat manusia
Syatimah               Maki hamun
T
Tafihah                 Karut
Talifah                  Yang rosak, yang binasa
Talihah                 Yang tidak baik
Tarbiyah               Yang papa kedana
Tarikah                 Anak dara tua
W
Wahiah                 Yang lemah, yang jatuh, yang buruk
Wahimah              Yang lemah
Wahinah               Penakut
Wailah                  Bencana, keburukan
Wajilah                 Penakut
Waqi’ah                Pertempuran dalam peperangan, umpatan
Waqihah               Yang kurang sopan dan malu
Wasikhah              Yang kotor
Wasyiah                Yang mengumpat, yang mengadu dombakan orang
Wati/Waty             Nama Hindu/tiada makna
Wathy / Wathi       Bersetubuh
Y
Yabisah                 Yang kering, yang sedikit kebaikannya
Yaisah                   Yang berputus asa
Z
Zalijah                   Kebinasaan
Zalilah                   Yang hina
Zalimah                 Yang zalim
Zaniyah                 Penzina, pelacur
Zufafah                 Racun pembunuh
 .
 .
D.    Rendah Diri
Nama-nama yang buruk, berbunyi pelik dan ganjil mungkin membuatkan yang empunya diri berasa agak terasing. Tidak mustahil juga nama itu menjadi bahan ejekan dan tidak begitu disenangi anak-anak kerana tekanan yang dihadapi di sekolah atau di alam pekerjaan.
 .
Kesan daripadanya, nama ini menimbulkan rasa malu kepada mereka yang akhirnya menyebabkan rasa marah, membangkitkan pergaduhan, malah juga boleh membina perasaan rendah diri dan berkemungkinan ia boleh menjejaskan perkembangan penghargaan kendiri seseorang itu.
 .
Sabda Rasulullah SAW : “Kamu sekalian pada hari kiamat akan dipanggil dengan nama kamu dan nama bapa kamu, maka hendaklah kamu memperelokkan nama kamu.”  (Hadis riwayat Abu Daud r.a.).
 .
.
E.    Panggilan Pendek
Orang Melayu suka menggunakan nama panggilan/timangan atau memendekkan nama, seperti nama Muhamad/Muhammad akan jadi Mohd (jom) atau Mat (mati) dan jika nama Abdullah, jadi Dolah saja. Amalan ini haruslah ditinggalkan dan contohilah orang Arab yang menghargai dan memanggil nama penuh pada setiap masa, kerana padanya terkandung doa.
.
.
F.     Penukaran Nama
Disunatkan mengubah nama yang buruk atau yang tidak baik kerana Nabi SAW telah melakukannya kepada para sahabat baginda, di mana Rasulullah SAW pernah menukar nama seorang yang bernama Abdul Hajar (hamba batu) kepada Abdullah. Ada yang bernama ‘Asi (yang derhaka) lalu ditukar kepada Muti’ (yang taat).
Aishah r.a berkata: “Rasulullah telah menukar nama-nama yang buruk. (riwayat Tirmidzi).”
Ibn Umar berkata: “Anak perempuan Umar dinamakan dengan nama ‘Asiah (wanita yang derhaka), lalu dinamakan oleh Rasulullah SAW dengan Jamilah (cantik).”  (riwayat Tirmidzi dan Ibn Majah).
 .
Ibnu Umar r.a. menceritakan;
أَنَّ رَسُولَ اللهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- غَيَّرَ اسْمَ عَاصِيَةَ. وَقَالَ: “أَنْتِ جَمِيلَةُ”.
“Sesungguhnya Rasulullah SAW telah menukar nama (seorang perempuan bernama) ‘Ashiyah (perempuan yang engkar) di mana baginda berkata kepada (perempuan itu); ‘Kamu adalah Jamilah (yang indah)’.”  (Riwayat Imam Muslim)
 .
Said bin al-Musayyab menceritakan bahawa bapanya yang bernama Hazn (susah/sedih), telah datang kepada Rasulullah SAW lalu Baginda bertanya kepadanya; “Apa nama kamu?” Jawab bapaku; “Hazn”. Lalu Rasulullah berkata; “Kamu adalah Sahl (iaitu Nabi menukar namanya kepada Sahl yang bererti; mudah).” Namun bapaku berkata; “Aku tidak akan menukar nama yang diberikan kepadaku oleh bapaku.” Said berkata; “(Dengan kedegilannya itu) maka berterusanlah ‘huzunah’ (kepayahan/kesedihan) membelenggu keluarga kami selepasnya.” (Riwayat Imam Bukhari dari Said bin al-Musayyab dari bapanya)
 .
 .
Berdasarkan kepada apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW mengenai penukaran nama di atas, adalah disunatkan menukar nama buruk kepada yang lebih baik.
.
Sekiranya sesiapa yang telah terlanjur menamakan anak dengan nama yang buruk, tidak elok atau ‘kurang manis’, tidak perlulah mengubah nama tersebut di pejabat pendaftaran, cukuplah hanya menukar nama panggilan kepada nama pangkat dalam keluarga seperti along, angah atau nama keduanya. Jika nama anak itu ‘Siti Balqis’, panggillah ‘Siti’ sahaja.
.
والله أعلم بالصواب
Wallahu A’lam bishowab
(Hanya Allah Maha Mengetahui apa yang benar)
.
by; shafiqolbu
readmore »»  



10 March 2013

Jadi Muslimah Jangan Pesimis

Jadi Muslimah Jangan Pesimis
Jadi Muslimah Ko Susah Amat
SUSAHNYA JADI MUSLIMAH kata yang pesimis
Bismillahir-Rahmaanir-Rahim … 

Kaum feminis bilang, SUSAH JADI MUSLIMAH ….
Liat aja peraturannya …

-   Aurat wanita lebih banyak daripada laki-laki
- Wanita perlu meminta izin dari suami bila hendak keluar, tapi tidak sebaliknya.


- Wanita menerima warisan hanya setengah dari bagian laki-laki
- Wanita wajib taat pada suami, tapi tidak sebaliknya
- Wanita perlu menghadapi kesusahan mengandung dan melahirkan anak
- Talak terletak di tangan suami dan bukan istri
- Wanita kurang dalam beribadah karena adanya masalah haid dan nifas yang tidak ada pada lelaki

Tapi, pernahkah kita melihat kenyataan sebaliknya ….

- Benda yang mahal harganya akan dijaga serta disimpan di tempat yang teraman dan terbaik. Sudah pasti intan permata tidak akan dibiarkan terserak bukan?
Itulah bandingannya dengan seorang wanita

- Wanita perlu taat pada suami. Tapi tahukah? Lelaki wajib taat kepada ibunya 3 kali lebih utama daripada kepada bapaknya

- Wanita menerima warisan lebih sedikit dari laki-laki. Tapi tahukah? Harta tersebut menjadi milik pribadi wanita dan tidak perlu diserahkan pada suaminya sementara laki-laki apabila menerima warisan, ia perlu bahkan wajib menggunakan hartanya untuk anak istrinya.

- Wanita memang harus menghadapi kesusahan mengandung dan melahirkan anak. Tapi tahukah? Bahwa saat mengandung hingga melahirkan maka setiap saat dia didoakan oleh segala makhluk Allah di muka bumi, dan tahukah? Jika ia meninggal karena melahirkan maka ia syahid dan surga menantinya.

- Tahukah? Di akhirat kelak seorang lelaki akan dipertanggungjawabkan terhadap empat wanita, yaitu: istrinya, ibunya, anak perempuannya, dan saudara perempuannya. Artinya, bagi seorang wanita tanggung terhadapnya ditanggung oleh empat orang lelaki, yaitu: suaminya, ayahnya, anak laki-lakinya dan saudara laki-lakinya.

- Seorang lelaki wajib berjihad fi sabilillah, sementara bagi wanita jika taat pada suaminya, serta menunaikan tanggung jawabnya kepada Allah maka ia akan turut menerima pahala setara seperti pahala orang pergi berjidah fi sabillillah tanpa perlu mengangkat senjata

- Seorang wanita boleh memasuki surga melalui pintu surga mana saja yang disukainya cukup dengan empat syarat, yakni: shalat 5 waktu, puasa di bulan Ramadhan, taat pada suami dan menjaga kehormatannya.

Wahai saudariku sesama muslimah, tidakkah beberapa hal di atas menjadikanmu bersyukur telah dilahirkan sebagai seorang muslimah. Jika kaum feminis punya puluhan alasan untuk menuduh Islam sebagai agama pengekang kebebasan wanita, maka Islam punya ratusan bahkan ribuan pembelaan bahwa ajaran Islam adalah Rahmatan lil alamin. Tak satu makhluk pun yang terzhalimi dengan adanya syariat-Nya karena Allah lebih tahu apa yang tidak kita ketahui.

Semoga bermanfaat dan Dapat Diambil Hikmah-Nya …
readmore »»  



02 March 2013

Sistem Dropshipping dan Solusinya

Sistem Dropshipping dan Solusinya
Sistem dropshipping banyak diterapkan saat ini oleh para penggiat toko online. Mereka tidak mesti memiliki barang. Cukup mereka memasang iklan di website atau blog, lalu jika ada pesanan, mereka tinggal menghubungi pihak produsen atau grosir.

Setelah itu pihak produsen atau grosir selaku dropshipper yang mengirimkan barang langsung kepada buyer (pembeli). Bagaimana hukum jual beli dengan sistem dropshipping semacam ini?

Padahal bentuknya adalah menjual barang yang tidak dimiliki, dan ini dilarang dalam hadits. Adakah solusi syar’inya?

Bentuk Dropshipping dan Siapakah Dropshipper?

Dropshipping adalah teknik manajemen rantai pasokan di mana reseller atau retailer (pengecer) tidak memiliki stok barang. Pihak produsen atau grosir selaku dropshipper yang nantinya akan mengirim barang secara langsung pada pelanggan. Keuntungan didapat dari selisih harga antara harga grosir dan eceran.

Tetapi beberapa reseller ada yang mendapatkan komisi yang disepakati dari penjualan yang nanti dibayarkan langsung oleh pihak grosir kepada reseller. Inilah bentuk bisnis yang banyak diminati dalam bisnis online saat ini.

Berikut ilustrasi mengenai sistem dropshipping:

Barang dipasarkan lewat toko online atau dengan hanya memasang ‘display items’ atau ‘katalog. Lalu pihak buyer (pembeli) melakukan transaksi lewat toko online kepada reseller dropship. Setelah uang ditransfer, pihak dropshipper (grosir) yang mengirim barang kepada buyer. Artinya, pihak reseller sebenarnya tidak memiliki barang saat itu, barangnya ada di pihak supplier, yaitu produsen atau grosir.

sistem_dropshipping
Menjual Barang yang Bukan Miliknya

Asalnya, yang dilakukan reseller adalah menjual barang yang bukan miliknya. Mengenai jual beli semacam ini termasuk dalam larangan dalam jual beli. Karena di antara syarat jual beli, orang yang melakukan akad adalah sebagai pemilik barang atau alat tukar, atau bertindak sebagai wakil. Jual beli barang yang bukan miliknya telah termaktub dalam beberapa hadits larangan jual beli sebagai berikut.

Hakim bin Hizam pernah bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
يَا رَسُولَ اللَّهِ يَأْتِينِي الرَّجُلُ فَيَسْأَلُنِي الْبَيْعَ لَيْسَ عِنْدِي أَبِيعُهُ مِنْهُ ثُمَّ أَبْتَاعُهُ لَهُ مِنْ السُّوقِ قَالَ لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ
“Wahai Rasulullah, ada seseorang yang mendatangiku lalu ia meminta agar aku menjual kepadanya barang yang belum aku miliki, dengan terlebih dahulu aku membelinya untuk mereka dari pasar?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Janganlah engkau menjual sesuatu yang tidak ada padamu.”
(HR. Abu Daud no. 3503, An Nasai no. 4613, Tirmidzi no. 1232 dan Ibnu Majah no. 2187. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shahih).

Di antara salah satu bentuk dari menjual belikan barang yang belum menjadi milik kita ialah menjual barang yang belum sepenuhnya diserahterimakan kepada kita, walaupun barang itu telah kita beli, dan mungkin saja pembayaran telah lunas. Larangan ini berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنِ ابْتَاعَ طَعَامًا فَلاَ يَبِعْهُ حَتَّى يَسْتَوْفِيَهُ
“Barangsiapa yang membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia selesai menerimanya.” Ibnu ‘Abbas mengatakan,
وَأَحْسِبُ كُلَّ شَىْءٍ مِثْلَهُ
“Aku berpendapat bahwa segala sesuatu hukumnya sama dengan bahan makanan.”
(HR. Bukhari no. 2136 dan Muslim no. 1525).

Ibnu ‘Umar mengatakan,
وَكُنَّا نَشْتَرِى الطَّعَامَ مِنَ الرُّكْبَانِ جِزَافًا فَنَهَانَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ نَبِيعَهُ حَتَّى نَنْقُلَهُ مِنْ مَكَانِهِ.
“Kami biasa membeli bahan makanan dari orang yang berkendaraan tanpa diketahui ukurannya. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami menjual barang tersebut sampai barang tersebut dipindahkan dari tempatnya”
(HR. Muslim no. 1527).

Dalam riwayat lain, Ibnu ‘Umar juga mengatakan,
كُنَّا فِى زَمَانِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَبْتَاعُ الطَّعَامَ فَيَبْعَثُ عَلَيْنَا مَنْ يَأْمُرُنَا بِانْتِقَالِهِ مِنَ الْمَكَانِ الَّذِى ابْتَعْنَاهُ فِيهِ إِلَى مَكَانٍ سِوَاهُ قَبْلَ أَنْ نَبِيعَهُ.
“Kami dahulu di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli bahan makanan. Lalu seseorang diutus pada kami. Dia disuruh untuk memerintahkan kami agar memindahkan bahan makanan yang sudah dibeli tadi ke tempat yang lain, sebelum kami menjualnya kembali”
(HR. Muslim no. 1527).

Bentuk serah terima di sini tergantung dari jenis barang yang dijual. Untuk rumah, cukup dengan nota pembelian atau balik nama; untuk motor adalah dengan balik nama kepada pemilik yang baru; barang lain mesti dengan dipindahkan dan semisalnya. Lihat pembahasan syarat jual beli tersebut di sini.
Namun ada solusi yang ditawarkan oleh syari’at untuk mengatasi perihal di atas. Silakan perhatikan fatwa dari Islamweb berikut ini.

Fatwa Islamweb (English Translation)

Pertanyaan:

Saya ingin bertanya mengenai sistem dropshipping. Dalam masalah ini, saya bertindak sebagai retailer (pengecer). Saya mendapatkan produk dari dropshipper. Kemudian, saya meminta pada pihak dropshipper untuk mengirimkan gambar dan saya akan mengiklankannya via eBay. Akan tetapi, saya tidak memilki produk tersebut. Produk tersebut masih berada di pihak supplier.

Apakah situasi semacam ini termasuk dalam larangan hadits yang diceritakan oleh Hakim bin Hizaam, ia berkata bahwa ia bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, ada seseorang yang mendatangiku lalu ia meminta agar aku menjual kepadanya barang yang belum aku miliki, dengan terlebih dahulu aku membelinya untuk mereka dari pasar?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Janganlah engkau menjual sesuatu yang tidak ada padamu.”
(HR. Abu Daud no. 3503, Tirmidzi no. 1232, dan An Nasai no. 4613. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shahih dalam Shahih An Nasai).

Perlu diketahui, bahwa saya punya surat kesepakatan dengan pihak supplier untuk mengiklankan dan menjualkan produknya. Oleh karena itu, bisakah saya dianggap sebagai agen dalam kondisi semacam ini? Jika saya sebagai agen, apakah berarti dibolehkan dalam sistem ini?

Jawaban:

Segala pujian yang sempurna bagi Allah, Rabb semesta alam. Saya bersaksi bahwa tidak ada yang patut disembah kecuali Allah, dan bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya.

Apa yang kami pahami dari pertanyaan Anda bahwa Anda tidak membeli barang baik dari pihak grosir maupun dari pihak produsen. Anda lebih berminat mengiklankan gambar produknya, dan jika Anda menemukan seseorang yang memiliki keinginan untuk membeli barang tersebut, Anda akan menjualnya kepadanya dengan harga ecerean.

Kemudian Anda membelinya dari pedagang grosir dengan harga grosir. Keuntungan yang diperoleh adalah dari selisih antara harga eceran dan harga grosir. Padahal dalam syari’at Islam seperti itu dilarang karena menjual apa yang tidak Anda miliki di tangan Anda dan membuat keuntungan dari apa yang belum menjadi milik Anda (yaitu Anda tidak menanggung risiko dan bertanggung jawab pada barang tersebut).

Solusi syari’at untuk permasalahan di atas adalah retailer (reseller) bertindak sebagai broker (makelar atau calo) atas nama pemilik barang dari produsen atau grosir. Dalam kondisi ini diperbolehkan bagi Anda untuk meminta komisi sebagai broker sesuai yang disepakati dengan penjual (produsen atau grosir) atau dengan pembeli atau dengan kedua-duanya.

Jika Anda membeli barang dari produsen atau grosir untuk diri sendiri, dan kemudian ingin menjualnya, Anda harus terlebih dahulu memegangnya di tangan Anda. Perlu diketahui bahwa kepemilikan apa pun berbeda sesuai dengan kenaturalan barang tersebut.

Solusi lain, Anda juga bisa bertindak sebagai agen sebagaimana yang Anda sebutkan sehingga seakan-akan Anda memiliki barang tersebut atas nama Anda. Jika sebagai agen, Anda bisa menyimpan barang di tempat terpisah di gudang pihak dropshipper (produsen atau grosir) yang nanti bisa dipisahkan (dibedakan) dengan barang-barang mereka.

Kemudian jika Anda menemukan seseorang yang ingin membelinya, Anda bisa menjualnya kepada dia dengan harga apa pun yang Anda dan grosir sepakati. Anda bisa mengirimkan barang tersebut kepada pembeli atau bisa pula pihak dropshipper (produsen atau grosir) yang melakukannya jika ia merasa tidak masalah dan ia memang yang menyediakan layanan pengiriman tersebut.
Fatwa Islamweb mengenai “Rulling on Dropshipping”.

Solusi Syar'i untuk Sistem Dropshipping

Ada tiga solusi yang ditawarkan dalam fatwa di atas bagi pihak pengecer:

1- Bertindak sebagai calo atau broker, dalam kondisi ini bisa mengambil keuntungan dari pihak pembeli atau produsen (grosir) atau keduanya sekaligus sesuai kesepakatan. Lihat bahasan mengenai komisi makelar (broker).

2- Bertindak sebagai agen atau wakil, dalam kondisi ini, barang masih boleh berada di tempat produsen (grosir) dan mereka pun bisa bertindak sebagai pengirim barang (dropshipper) ke tangan konsumen atau buyer. Jika sebagai agen berarti sudah disetujui oleh pihak produsen atau grosir, ada hitam di atas putih.

3- Jika menjual sendiri (misal atas nama toko online), tidak atas nama produsen, maka seharusnya barang sampai ke tangan, lalu boleh dijual pada pihak lain.

Bentuk dari solusi ketiga ini bisa menempuh dua cara:
a- Menggunakan sistem bai’ al murabahah lil amir bisy syira’ (memerintah untuk membelikan barang dengan keuntungan yang disepakati bersama). Sistem ini bentuknya adalah buyer (pembeli) melihat suatu barang yang ia tertarik di katalog toko online. Lalu buyer memerintahkan pada pihak toko online untuk membelikan barang tersebut dengan keuntungannya yang telah disepakati. Barang tersebut dibelikan dari pihak produsen (grosir). Namun catatan yang perlu diperhatikan, sistem al aamir bisy syiro’ tidak bersifat mengikat. Pihak buyer bisa saja membatalkan transaksi sebelum barang dikirimkan. Kemudian dalam sistem ini menunjukkan bahwa barang tersebut sudah jadi milik penuh pihak toko online. Dalam sistem ini sebagai dropshipper adalah pihak toko online itu sendiri atau bisa jadi ia menyuruh pada supplier, namun ia yang bertanggungjawab penuh terhadap kerusakan barang. Lihat bahasan mengenai bai’ al murabahah lil amir bisy syira’.

b- Menggunakan sistem bai’ salam (uang tunai terlebih dahulu diserahkan tidak bisa dicicil, lalu barang belakangan). Bentuknya adalah buyer (pembeli) mengirimkan uang tunai kepada pihak toko online seharga barang yang hendak dia beli, kemudian pihak toko online mencarikan barang pesanan pembeli. Lalu pihak toko online membeli barang, dan selanjutnya barang dikirim ke pembeli oleh tanpa disyaratkan pemilik toko online tersebut yang mengirimnya, bisa saja pihak produsen (grosir) yang mengirimnya secara langsung pada buyer. Lihat bahasan mengenai jual beli salam.

Sebelumnya tertulis demikian dalam tulisan Rumaysho.com ini: Lalu pihak toko online membeli barang, dan selanjutnya barang dikirim ke pembeli oleh pihak toko online. Semua risiko selama pengiriman barang ditanggung oleh pihak toko online. Intinya di sini, toko online sudah membeli barang tersebut dari supplier. Ini keliru karena jual beli salam yang terpenting adalah pihak toko online bersedia menyediakan barang setelah uang tunai diberikan, tidak dipersyaratkan siapakah yang mesti mengirim. Jazakumullah khoiron kepada yang telah mengingatkan atas kekeliruan ini. Lihat sekali lagi keterangan lebih lanjut mengenai jual beli salam.

Semoga Allah senantiasa menunjuki kita pada penghidupan yang halal. Berilmulah sebelum beramal dan terjun dalam jual beli.

Imam Syafi’i juga berkata, “Siapa yang ingin dunia, wajib baginya memiliki ilmu. Siapa yang ingin akherat, wajib baginya pula memiliki ilmu.”
(Dinukil dari Mughnil Muhtaj)
Umar bin ‘Abdul ‘Aziz berkata, “Barangsiapa beribadah pada Allah tanpa ilmu, maka kerusakan yang ia perbuat lebih banyak daripada mendatangkan maslahat.”
(Dinukil dari Majmu’ Al Fatawa Ibnu Taimiyah, 2: 382)

Kami sangat mengharapkan masukan dan saran jika ada yang menemukan kekeliruan dalam tulisan di atas. Wallahu waliyyut taufiq was sadaad, hanya Allah yang memberikan taufik dan petunjuk.

Referensi:
1-    http://www.islamweb.net/emainpage/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=161689
2-      http://en.wikipedia.org/wiki/Drop_shipping
3-      http://www.blog.epathchina.com/tag/dropship-distributor/
4-      http://topdropshipping.blogspot.com/
5-      http://www.gorilladropship.net/the-basics-of-drop-shipping/
6-      http://pengusahamuslim.com/dropshipping-usaha-tanpa-modal-dan-alternatif-transaksinya-yang-sesuai-syariat
7- http://islamqa.org/hanafi/askimam/5834

@ Sakan 27, Jami’ah Malik Su’ud, Riyadh-KSA, 29 Muharram 1434 H
www.rumaysho.com
readmore »»  



Hukum Komisi Bagi Broker (Makelar)

Hukum Komisi Bagi Broker (Makelar)
Membaca kata broker,apa persepsi yang muncul dipikiran kita? Persepsi kita bisa berarti orang yang suka minta komisi, ada unsur percaloan. Broker sendiri berarti pedagang perantara. 

Mungkin takala zaman belum seperti sekarang, seorang produsen yang menciptakan suatu produk disebabkan memiliki keterbatasaan waktu dan tenaga untuk menjual dan memasarkan produknya, kemudian menggunakan jasa broker dengan imbalan komisi bagi yang mampu membawa pembeli.

Broker bertindak sebagai pedagang perantara, berfungsi mempertemukan penjual dan pembeli sehingga mempercepat dan membantu kelancaran proses negoisiasi. Hasil akhir adalah memperoleh komisi dari jasa layanan mereka. Broker menjual informasi tentang apa yang dibutuhkan pembeli, dan mencari pemasok-pemasok mana yang menyediakan barang kebutuhan tersebut.

Di bidang property, seorang broker memiliki peran untuk menegosiasikan penjualan property antara penjual dan pembeli dengan imbalan komisi tertentu. Sebagai broker professional mereka harus bertindak bagi kepentingan penjual dan pembeli dan buka untuk dirinya sendiri, selain itu juga harus bisa menjadi problem solver, mencari solusi bila ada ketidak sesuaian antara penjual dan pembeli dengan pendekatan win-win solution.

Prospek mencari listing (maksudnya mencari pemilik yang sedang/ingin menjual atau menyewa property dan mempercayakan kita untuk memasarkannya), bisa kita dapatkan melalui kawan, kerabat, iklan baris disurat kabar, atau lagi jalan-jalan dan menemukan tanda didepan rumah pemilik. Semuanya itu bisa kita prospek agar bersedia diajak kerja sama dengan kita. Bila kita mendapatkan pembeli kita tawarkan mau tidak sang pemilik memberi komisi kepada kita, atau bekerja sama untuk deal harga, atau sistemnya jual harga dengan cara pemilik menentukan harga terserah kita mau menjual dengan harga berapa. Selisihnya itu menjadi milik kita.

Bagaimana komisi yang didapatkan broker, halal ataukah tidak? Simak bahasan berikut.

Tinjauan Islam Terhadap Komisi Broker (Makelar)

Coba kita lihat fatwa komisi fatwa Saudi Arabia, Al Lajnah Ad Daimah berikut ini:
Pertanyaan:
أخذت زبونا إلى أحد المصانع أو المحلات لشراء بضاعة، فأعطاني صاحب المصنع أو المحل عمولة على الزبون. هل هذا المال حلال (العمولة)؟ وإذا زاد صاحب المصنع مبلغا معينا على كل قطعة يأخذها الزبون، وهذه الزيادة آخذها أنا مقابل شراء الزبون لهذه البضاعة، فهل هذا جائز؟ إذا كان غير جائز فما هي العمولة الجائزة؟

Saya pernah membawa seorang konsumen ke salah satu pabrik atau toko untuk membeli suatu barang. Lalu pemilik pabrik atau toko itu memberi saya komisi atas konsumen yang saya bawa. Apakah komisi yang saya peroleh itu halal atau haram? Jika pemilik pabrik itu memberikan tambahan uang dalam jumlah tertentu dari setiap item yang dibeli konsumen tersebut, dan saya mau menerima tambahan tersebut sebagai atas pembelian konsumen tersebut, apakah hal tersebut dibolehkan? Dan jika hal itu tidak dibolehkan, lalu apakah komisi yang dibolehkan?

Jawaban:
إذا كان المصنع أو التاجر يعطيك جزءا من المال على كل سلعة تباع عن طريقك؛ تشجيعا لك لجهودك في البحث عن الزبائن، وهذا المال لا يزاد في سعر السلعة، وليس في ذلك إضرار بالآخرين ممن يبيع هذه السلعة، حيث إن هذا المصنع أو التاجر يبيعها بسعر كما يبيعها الآخرون - فهذا جائز ولا محذور فيه. أما إن كان هذا المال الذي تأخذه من صاحب المصنع أو المحل، يزاد على المشتري في ثمن السلعة، فلا يجوز لك أخذه، ولا يجوز للبائع فعل ذلك؛ لأن في هذا إضرار بالمشتري بزيادة السعر عليه.

Jika pihak pabrik atau pedagang memberi Anda sejumlah uang atas setiap barang yang terjual melalui diri Anda sebagai balas jasa atas kerja keras yang telah Anda lakukan untuk mencari konsumen, dan uang tersebut tidak ditambahkan pada harga barang, dan tidak pula memberi mudharat pada orang lain yang menjual barang tersebut, di mana pabrik atau pedagang itu menjual barang tersebut dengan harga seperti yang dijual oleh orang lain, maka hal itu boleh dan tidak dilarang.

Tetapi, jika uang yang Anda ambil dari pihak pabrik atau toko dibebankan pada harga barang yang harus dibayar pembeli, maka Anda tidak boleh mengambilnya dan tidak boleh juga bagi penjual untuk melakukan hal tersebut. Sebab, pada perbuatan itu mengandung unsur yang mencelakakan pembeli karena harus menambah uang pada harga barangnya.

Wabillaahit taufiq. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.[1]

Fatwa di atas menunjukkan bahwa pengambilan komisi dari broker atau makelar (dari pihak buyer/pembeli) dirinci sebagai berikut:

1. Jika komisi bagi broker dibebankan pada harga yang mesti dibayar pembeli tanpa sepengetahuan pembeli, maka tidak dibolehkan karena merugikan pembeli.
2. Jika komisi bagi broker tidak dibebankan pada pembeli atau dibebankan pada pembeli dengan seizinnya, maka dibolehkan.[2]

Contoh: Bila A memiliki toko bahan bangunan, yang biasanya menjual genteng @ Rp 1.000,- (seribu rupiah), akan tetapi karena konsumen B datang ke toko tersebut dibawa oleh C yang biasanya berprofesi sebagai tukang bangunan, maka A menjual gentingnya kepada B seharga @ Rp. 1.050,- (seribu lima puluh rupiah), dengan perhitungan: Rp 1.000,- adalah harga genteng sebenarnya, dan Rp 50,- adalah fee untuk C yang telah berjasa membawa konsumen ke toko A. Sudah barang tentu, ketika A menaikkan harga penjualan dari Rp 1.000,- menjadi Rp 1.050,- dengan perhitungan seperti di atas, tanpa sepengetahuan B. Dengan demikian, pada kasus seperti ini B dirugikan, karena ia dibebani Rp 50,- sebagai fee untuk C, tanpa ada kesepakatan terlebih dahulu. Dan ini tentu bertentangan dengan firman Allah Ta'ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu." (QS. An Nisa': 29)

Adapun bila pemilik toko memberi fee kepada C tanpa menaikkan harga jual, sehingga tetap saja ia menjual genteng tersebut seharga @ Rp 1.000,- maka itu tidak mengapa.

Atau, bila sebelumnya pemilik toko memberitahukan kepada pembeli bahwa harga genting, ditambah dengan fee yang akan diberikan kepada mediator, dan ternyata pembeli mengizinkan, maka praktek semacam ini dibenarkan.[3]

Jika broker tadi adalah dari pihak penjual (seller), maka rinciannya sebagai berikut:
  1. Jika si broker menaikkan harga tanpa izin atau sepengetahuan si penjual, maka ini tidak dibolehkan.
  2. Jika si broker menaikkan harga dengan izin atau sepengetahuan si penjual (baik kadar kenaikannya diserahkan kepada broker atau ditentukan oleh pemilik barang), ini dibolehkan.
Broker Harus Jujur dan Amanah

Syaikh Sholeh Al Munajjid hafizhohullah menerangkan, “Hendaklah si broker (makelar) adalah orang yang paham terhadap info yang ia dapat dari penjual atau apa yang diinginkan pembeli. Sehingga dari sini ia tidak merugikan penjual atau juga pembeli, yang awalnya disangka ia punya info, tak tahunya hanya bualan belaka. Si broker juga harus memiliki sifat amanah dan jujur. Si broker tidak boleh hanya menguntungkan salah satu dari keduanya (merugikan lainnya). Jika ada ‘aib (kejelekan) dari produk yang dijual, ia harus menerangkannya dengan amanah dan jujur. Ia pun tidak boleh melakukan penipuan kepada penjual atau pembeli.”[4]
Wallahu a’lam bish showab.

Riyadh-KSA, 27 Rabi’uts Tsani 1432 H (31/03/2011)
www.rumaysho.com


[1] Fatwa no. 19912, pertanyaan ketiga, 13/131. Fatwa ini ditandatangani oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz sebagai ketua, Syaikh ‘Aziz Alu Syaikh sebagai wakil ketua, Syaikh Sholeh Al Fauzan dan Syaikh Bakr Abu Zaid sebagai anggota.
[2] Lihat Fatwa Al Lajnah Ad Daimah no. 16043, 13/127-128.
[3] Contoh yang disampaikan oleh Ustadz Dr. Arifin Baderi di link http://pengusahamuslim.com/baca/artikel/419/tanya-jawab-hukum-mediator-dagang-makelar--perantara.
[4] Fatawa Al Islam Sual wa Jawab no. 45726.
readmore »»  



Bolehkah Jual Beli dengan Sekedar Memajang Katalog di Internet?

Jual Beli Internet
Segala puji bagi Allah, Rabb pemberi segala nikmat. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Sebagian orang agak sedikit rancu dengan jual beli salam dan jual beli barang yang belum dimiliki. Ada yang masih bingung sehingga ia anggap bahwa jual beli salam semacam di internet yang hanya dengan memajang katalog barang yang akan dijual, itu tidak dibolehkan karena dianggap termasuk larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjual barang yang tidak dimiliki ketika akad. Inilah bahasan yang ingin kami angkat pada kesempatan kali ini. Semoga pembahasan singkat ini bisa menjawab kerancuan yang ada.

Pengertian Transaksi Salam

Jual beli salam (biasa pula disebut “salaf”) adalah jual beli dengan uang di muka secara kontan sedangkan barang dijamin diserahkan tertunda.Istilahnya adalah pembeli itu pesan dengan menyerahkan uang terlebih dahulu, sedangkan penjual mencarikan barangnya walaupun saat itu barang tersebut belum ada di tangan penjual.

Jual beli salam dibolehkan berdasarkan dalil Al Qur’an, As Sunnah, dan ijma’ (kesepakatan ulama).

Bolehnya Transaksi Salam

Ayat yang menyebutkan bolehnya hal ini adalah firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah  tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (QS. Al Baqarah: 282)

Ibnu ‘Abbas –radhiyallahu ‘anhuma- mengatakan,
أَشْهَدُ أَنَّ السَّلَفَ الْمَضْمُونَ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى أَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ أَحَلَّهُ وَأَذِنَ فِيهِ وَقَرَأَ هَذِهِ الآيَةَ (يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى)
Aku bersaksi bahwa salaf (transaksi salam) yang dijamin hingga waktu yang ditentukan telah dihalalkan oleh Allah ‘azza wa jalla. Allah telah mengizinkannya”. Setelah itu Ibnu ‘Abbas menyebutkan firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah  tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (QS. Al Baqarah: 282) (HR. Al Baihaqi 6/18, Al Hakim 2/286 dan Asy Syafi’i dalam musnadnya no. 597. Al Hakim mengatakan bahwa hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim, namun keduanya tidak mengeluarkannya)

Ibnu’ Abbas –radhiyallahu ‘anhuma- juga mengatakan,
قَدِمَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - الْمَدِينَةَ ، وَهُمْ يُسْلِفُونَ بِالتَّمْرِ السَّنَتَيْنِ وَالثَّلاَثَ ، فَقَالَ « مَنْ أَسْلَفَ فِى شَىْءٍ فَفِى كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ ، إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ »
“Ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tiba di Madinah, mereka (penduduk Madinah) mempraktekan jual beli buah-buahan dengan sistem salaf (salam), yaitu membayar di muka dan diterima barangnya setelah kurun waktu dua atau tiga tahun kemudian. Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Siapa yang mempraktekkan salam dalam jual beli buah-buahan hendaklah dilakukannya dengan takaran yang diketahui dan timbangan yang diketahui, serta sampai waktu yang diketahui.”
(HR. Bukhari no. 2240 dan Muslim no. 1604)

Adapun dalil ijma’ (kesepakatan para ulama) sebagaimana dinukil oleh Ibnul Mundzir. Beliau -rahimahullah- mengatakan,
أجمع كلّ من نحفظ عنه من أهل العلم على أنّ السّلم جائز.
“Setiap ulama yang kami mengetahui perkataannya telah bersepakat (berijma’) tentang bolehnya jual beli salam.”[1]

Sayyid Sabiq -rahimahullah- menjelaskan, “Jual beli salam dibolehkan berdasarkan kaedah syariat yang telah disepakati. Jual beli semacam ini tidaklah menyelisihi qiyas. Sebagaimana dibolehkan bagi kita untuk melakukan pembayaran tertunda, begitu pula dibolehkan barangnya yang diserahkan tertunda seperti yang ditemukan dalam akad salam, dengan syarat tanpa ada perselisihan antara penjual dan pembeli.

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah  tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya”
(QS. Al Baqarah: 282).

Utang termasuk pembayaran tertunda dari harta yang dijaminkan. Maka selama barang yang dijual disebutkan ciri-cirinya yang jelas dan dijaminkan oleh penjual, begitu pula pembeli sudah percaya sehingga ia pun rela menyerahkan uang sepenuhnya kepada penjual, namun barangnya tertunda, maka ketika itu barang tersebut boleh diserahkan tertunda. Inilah yang dimaksud dalam surat Al Baqarah ayat 282 sebagaimana diterangkan oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma.”[2]

Apakah Akad Salam Sama Dengan Jual Beli Barang yang Bukan Milikmu?

Mengenai larangan menjual barang yang tidak dimiliki telah disebutkan dalam hadits Hakim bin Hizam. Ia berkata pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
يَا رَسُولَ اللَّهِ يَأْتِينِى الرَّجُلُ فَيُرِيدُ مِنِّى الْبَيْعَ لَيْسَ عِنْدِى أَفَأَبْتَاعُهُ لَهُ مِنَ السُّوقِ فَقَالَ « لاَ تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ ».
“Wahai Rasulullah, seseorang mendatangiku lantas ia menginginkan dariku menjual barang yang bukan milikku. Apakah aku harus membelikan untuknya dari pasar?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah engkau menjual barang yang bukan milikmu.
(HR. Abu Daud no. 3503, An Nasai no. 4613, At Tirmidzi)

Perlu diketahui bahwa maksud larangan hadits di atas adalah jual beli sesuatu yang sudah tertentu yang bukan miliknya ketika akad itu berlangsung.

Sebagaimana diterangkan dalam Syarhus Sunnah, “Yang dimaksud dalam hadits di atas adalah jual beli barang yang sudah tertentu (namun belum dimiliki ketika akad berlangsung), dan ini bukanlah dimaksudkan larangan jual beli dengan menyebutkan ciri-ciri barang (sebagaimana terdapat dalam akad salam).

Oleh karena itu, transaksi salam itu dibolehkan dengan menyebutkan ciri-ciri barang yang akan dijual asalkan terpenuhi syarat-syaratnya walaupun belum dimiliki ketika akad berlangsung. Sedangkan contoh jual beli barang yang tidak dimiliki yang terlarang seperti jual beli budak yang kabur, jual beli barang sebelum diserahterimakan, dan yang semakna dengannya adalah jual beli barang orang lain tanpa seizinnya karena pada saat ini tidak diketahui bahwa yang memiliki barang tersebut mengizinkan ataukah tidak.”[3]

Sayyid Sabiq -rahimahullah- menjelaskan, “Jual beli salam tidaklah masuk dalam larangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai jual beli yang bukan miliknya. Larangan tersebut terdapat dalam hadits Hakim bin Hizam, “Janganlah engkau menjual barang yang bukan milikmu.

Yang dimaksud larangan yang disebutkan dalam hadits ini adalah larangan menjual harta yang mampu diserahterimakan ketika akad. Karena barang yang mampu diserahterimakan ketika akad dan ia tidak memilikinya saat itu, maka jika ia jual berarti hakekatnya barang tersebut tidak ada. Sehingga jual beli semacam ini menjadi jual beli ghoror (ada unsur ketidakjelasan).

Sedangkan jual beli barang yang disebutkan ciri-cirinya dan sudah dijaminkan oleh penjual, serta penjual mampu menyerahkan barang yang sudah dipesan sesuai waktu yang ditentukan, maka jual beli semacam ini tidaklah masalah.”[4]

Contoh riil jual beli salam adalah seperti kita lihat pada jual beli di internet baik dengan brosur, katalog atau toko online. Jual beli semacam ini menganut jual beli sistem salam. Penjual hanya memajang kriteria atau ciri-ciri barang yang akan dijual, sedangkan pembeli diharuskan untuk menyerahkan uang pembayaran lebih dahulu dan barangnya akan dikirim setelah itu. Jual beli semacam ini tidaklah masalah selama syarat-syarat transaksi salam dipenuhi.

Sedangkan jual beli barang yang tidak dimiliki ketika akad berlangsung, seperti ketika seseorang meminjam HP milik si A, lalu ia katakan pada si B (tanpa izin si A), “Saya jual HP ini untukmu”.Ini tidak dibolehkan karena si pemilik HP (si A) belum tentu mengizinkan HP tersebut dijual kepada yang lain (si B). Ini sama saja orang tersebut menjual HP yang bukan miliknya karena tidak adanya izin dari si pemilik barang. Namun jika dengan izin si pemilik beda lagi statusnya.

Semoga contoh yang sederhana ini dapat memberikan kepahaman.
Jadi jual beli salam dimaksudkan yang dijual adalah ciri-ciri atau sifat barang, sedangkan larangan jual beli barang yang belum dimiliki yang dimaksud adalah barang tersebut sudah ditentukan, namun belum jadi milik si penjual. Semoga Allah beri kepahaman.

Syarat Transaksi Salam
Setelah kita mengetahui bolehnya transaksi salam, transaksi dibolehkan tentu saja dengan memenuhi syarat-syarat. Syarat yang dipenuhi adalah berkenaan dengan upah yang diserahkan pembeli dan berkaitan dengan akad salam.

Syarat yang berkaitan dengan upah yang diserahkan pembeli adalah: [1] jelas jenisnya; [2] jelas jumlahnya, [3] diserahkan secara tunai ketika akad berlangsung (tidak boleh dengan pembayaran tertunda)[5].
Syarat yang berkaitan dengan akad salam adalah: [1] sudah dijamin oleh penjual; [2] barang yang dijual diketahui ciri-cirinya dan jumlahnya sehingga bisa dibedakan dengan yang lain; [3] kapan barang tersebut sampai ke pembeli harus jelas waktunya.[6]

Demikian sedikit penjelasan kami mengenai akad salam dan sedikit kerancuan mengenai jual beli barang yang tidak dimiliki. Semoga bermanfaat.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.

Artikel www.rumaysho.com
Panggang-GK, 25 Jumadits Tsani 1431 H (07/06/2010)
Al Faqir Ilallah: Muhammad Abduh Tuasikal


[1] Fiqh Sunnah, Sayyid Sabiq, 3/122, Darul Kutub Al ‘Arobi, Beirut, Lebanon.
[2] Fiqh Sunnah, 3/123.
[3] ‘Aunul Ma’bud, Al ‘Azhim Abadi, 9/291, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah-Beirut, 1415.
[4] Fiqh Sunnah, 3/123-124.
[5] Syarat ketiga ini wajib dipenuhi karena inilah syarat yang disepakati oleh para ulama sebagaimana dikatakan oleh Asy Syaukani dan muridnya –Shidiq Hasan Khon-. (Lihat Ar Roudhotun Nadiyah, 182, Darul ‘Aqidah, cetakan pertama, tahun 1422)
[6] Lihat Fiqh Sunnah, 3/124.
readmore »»  



Murabahah yang Mengandung Riba

Murabahah yang Mengandung Riba
Alhamdulillah, shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Dalam fikih muamalah dikenal istilah murabahah. Yang dimaksud murabahah adalah penjual memberitahukan harga barang pada si pembeli dan ia mengambil untung dari penjualan barang tersebut. Jual beli ini dipraktekkan di beberapa bank syariah atau BPR saat ini.

Bagaimana murabahah yang semestinya?

Memahami Murabahah

Murabahah sudah jelas dalam penjelasan di atas. Deskripsinya adalah sebagai berikut:
Ruslan menjual mobil pada Ahmad. Dan ia memberitahukan harga belinya pada Ahmad 100 juta. Karena jasa Ruslan untuk membeli terlebih dahulu dan berani memberikan pada Ahmad secara cicilan, maka ia menjual mobil tersebut sebesar 120 juta. Artinya, Ruslan mendapat untung sebesar 20 juta dan Ahmad mengetahui hal ini.

Ada istilah lain yang mirip murabahah. Kalau contoh di atas ditarik keuntungan. Ada jual beli yang sudah dikabarkan harga pembelian pada si pembeli sama dengan murabahah, namun si penjual tidak mengambil untung, harga pembelian sama dengan harga penjualan. Ini dikenal dengan jual beli tawliyah. Ada juga bentuk yang malah si penjual rugi. Ia memberitahukan harga sebenarnya pada si pembeli, namun ia menetapkan harga lebih rendah karena boleh jadi barangnya sudah lama. Jual beli kedua ini dikenal dengan jual beli wadhi’ah atau mukhasaroh. Jadi ada tiga jual beli yang sifatnya amanah: (1) murabahah (kenal untung), (2) tawliyah (kenal imbas), dan (3) wadhi’ah (kenal rugi).

Adapun mengenai hukum jual beli murabahah, asalnya dibolehkan. Dalil akan hal ini adalah keumuman firman Allah Ta’ala yang menjelaskan halalnya jual beli. Allah Ta’ala berfirman,
وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ
Padahal Allah telah menghalalkan jual beli” (QS. Al Baqarah: 275).
إِلَّا تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ
Kecuali dengan jalan perniagaan yang saling ridho di antara kamu” (QS. An Nisa’: 29).

Murabahah termasuk jual beli saling ridho di antara penjual dan pembeli, sehingga termasuk jual beli yang dibolehkan.

Begitu pula secara logika, jual beli ini amat dibutuhkan dan telah tersebar luas. Di antara kita ada orang yang tidak tahu manakah barang yang berkualitas untuk dibeli, sehingga kita butuh informasi dari orang yang lebih mengetahui seluk-beluk barang di pasar. Sebagai balas budi, si pembeli memberikan balas jasa pada si penjual yang telah membeli barang tersebut dengan memberikan keuntungan. Sehingga jual beli murabahah dengan logika sederhana ini dibolehkan.

Memerintah untuk Membelikan Barang

Ilustrasi jual beli ini hampir mirip dengan jual beli murabahah atau ia termasuk dalam jual beli murabahah. Jual beli ini dikenal dengan jual beli al aamir bisy syiro’. Ulama Syafi’iyah menjelaskan jual beli ini, “Si A melihat ada suatu barang yang membuat ia tertarik. Ia lalu berkata pada si B, “Tolong belikan barang ini dan engkau boleh mengambil untung dariku jika aku membelinya.” Lalu si A membeli barang tersebut dari si B. Jual beli dengan bentuk seperti ini boleh dengan keuntungan sesuai yang diinginkan.
Namun catatan yang perlu diperhatikan: Jual beli al aamir bisy syiro’ tidaklah bersifat mengikat. Jika si A memutuskan ingin membeli dari si B, maka terjadilah jual beli. Jika si A tidak mau setelah menimbang-nimbang atau melihat kualitas barang yang dibeli si B tidak sesuai keinginan, maka ia boleh membatalkannya.

Realita Murabahah yang Terjadi

Realita yang terjadi di lapangan tidaklah sesuai dengan murabahah yang dijelaskan dalam fikih Islam. Praktek murabahah yang dilakukan pihak bank atau lembaga perkreditan rakyat yang mengatasnamakan syari’ah jauh dari yang semestinya.

Lihatlah contoh yang dijelaskan oleh para ulama di atas, seperti dalam contoh terakhir, si B benar-benar telah memiliki barang yang ingin dijual pada si A. Namun realita yang terjadi di bank tidaklah demikian. Coba lihat ilustrasi murabahah yang dipraktekkan pihak bank:

1. Calon pembeli datang ke bank, dia berkata kepada pihak bank, "Saya bermaksud membeli mobil X yang dijual di dealer A dengan harga Rp. 100 juta. Pihak bank lalu menulis akad jual beli mobil tersebut dengan pemohon, dengan mengatakan, "Kami jual mobil tersebut kepada Anda dengan harga Rp. 120 juta, dengan tempo 3 tahun." Selanjutnya bank menyerahkan uang Rp. 100 juta kepada pemohon dan berkata, "Silakan datang ke dealer A dan beli mobil tersebut."

Realita yang terjadi ini bukanlah murabahah. Kenyataannya adalah pihak bank meminjamkan uang pada si pemohon sebesar 100 juta untuk membeli mobil di dealer. Lalu si pemohon mencicil hingga 120 juta. Seandainya transaksi dengan pihak bank adalah jual beli, maka mobil tersebut harus ada di kantor bank. Karena syarat jual beli, si penjual harus memegang barang tersebut secara sempurna sebelum dijual pada pihak lain.

Simak hadits berikut.
Dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنِ ابْتَاعَ طَعَامًا فَلاَ يَبِعْهُ حَتَّى يَسْتَوْفِيَهُ
Barangsiapa yang membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia selesai menerimanya.” Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Aku berpendapat bahwa segala sesuatu hukumnya sama dengan bahan makanan.” (HR. Bukhari no. 2136 dan Muslim no. 1525)

Ibnu ‘Umar berkata,
كُنَّا فِى زَمَانِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَبْتَاعُ الطَّعَامَ فَيَبْعَثُ عَلَيْنَا مَنْ يَأْمُرُنَا بِانْتِقَالِهِ مِنَ الْمَكَانِ الَّذِى ابْتَعْنَاهُ فِيهِ إِلَى مَكَانٍ سِوَاهُ قَبْلَ أَنْ نَبِيعَهُ.
Kami dahulu di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli bahan makanan. Lalu seseorang diutus pada kami. Dia disuruh untuk memerintahkan kami agar memindahkan bahan makanan yang sudah dibeli tadi ke tempat yang lain, sebelum kami menjualnya kembali.”
(HR. Muslim no. 1527)

Mobil tersebut belum berpindah dari dealer ke kantor bank. Itu sama saja bank menjual barang yang belum ia miliki atau belum diserah terimakan secara sempurna. Dan realitanya maksud bank adalah meminjamkan uang 100 juta dan dikembalikan 120 juta. Kenyataan ini adalah riba karena para ulama sepakat, “Setiap utang yang ditarik keuntungan, maka itu adalah riba.”

2. Sama dengan ilustrasi pertama, hanya saja pihak bank menelpon showroom dan berkata "Kami membeli mobil X dari Anda." Selanjutnya pembayarannya dilakukan via transfer, lalu pihak bank berkata kepada pemohon: "Silakan Anda datang ke showroom tersebut dan ambil mobilnya."
Ilustrasi kedua pun sama, bank juga menjual barang yang belum diserahterimakan secara sempurna. Ini termasuk pelanggaran dalam jual beli seperti yang diterangkan dalam hadits Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Umar di atas.

3. Seorang pemohon datang ke bank dan dia butuh sebuah barang, maka pihak bank mengatakan, "Kami akan mengusahakan barang tersebut." Bisa jadi sudah ada kesepakatan tentang keuntungan bagi pihak bank, mungkin pula belum terjadi. Lalu pihak bank datang ke toko dan membeli barang selanjutnya dibawa ke halaman bank, kemudian terjadilah transaksi antara pemohon dan pihak bank.

Pada akad di atas, pihak bank telah memiliki barang tersebut dan tidak dijual kecuali setelah dipindahkan dan dia terima barang tersebut.

Hukum transaksi ini dirinci:
- bila akadnya bersifat mengikat (tidak bisa dibatalkan), maka haram karena termasuk menjual sesuatu yang sebelumnya tidak dimiliki.
- bila akadnya tidak bersifat mengikat (bisa dibatalkan) oleh pihak penjual atau pembeli, maka masalah ini ada khilaf di kalangan ulama masa kini. Pendapat terkuat, jual beli semacam  ini dibolehkan karena barang sudah berpindah dari penjual pertama kepada bank.
Namun sayangnya, ilustrasi terakhir tidak bisa dijumpai di bank-bank yang ada kecuali dengan bentuk yang mengikat (tidak bisa dibatalkan).

Wallahu a’lam bish showwab.
Alhamdulillah, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala aalihi wa shohbihi wa sallam.

Referensi:
  1. Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, terbitan Kementrian Agama Kuwait, bahasan Murobahah, 36: 318-328.
  2. http://pengusahamuslim.com/praktek-murabahah-pembelian-kredit-melalui-bank-syariah

@ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 24 Shafar 1433 H
www.rumaysho.com
readmore »»  



 
 

Home | Sitemap | About | Contact Us | Privacy Policy